Di dalam wacana umum yang kita kenal tentunya kita merasakan, bahwa tampaknya tak cukup mudah untuk membedakan makna hakiki antara istilah “Perang” atas Nama Tuhan dan Agama (mewakili pandangan dunia muslim) dengan “Perang, Teror, Ancaman, Propaganda” atas nama Kemanusiaan, HAM, Agama, dan Keadilan (mewakili pandangan dunia non-Muslim) seperti yang terjadi di beberapa bagian dunia dewasa ini. Secara lebih spesifik, bahwa para pelaku (dan pengambil kebijakan) perang di kedua belah pihak itu justru adalah mereka yang nota bene sama-sama menyatakan diri sebagai orang beriman.
Pandangan umum tentang perbedaan orang beriman (Mukmin) dan orang yang tidak beriman (biasanya disebut dengan Kafir), bahwa Mukmin adalah orang yang percaya akan adanya Tuhan. Sebaliknya orang Kafir adalah adalah mereka yang tidak percaya akan adanya Tuhan. Namun di dalam realitas sosial, secara obyektif kita nyaris tidak mudah pula menemukan perbedaan di antara orang-orang yang percaya dan tidak percaya akan adanya Tuhan. Terutama hal itu tampak jelas di dalam aspek perilaku sosial, budaya, ekonomi, dan politik. Orang akan sulit membedakannya kecuali dari aspek-aspek fisik yang tampaknya (semakin) cenderung lebih bersifat artifisial daripada esensial, sebagaimana dikemukakan di atas.
Keimanan merupakan sebuah kata atau istilah yang sudah demikian sangat lumrah diucapkan maupun didengar dalam kehidupan sehari-hari. Karena sudah sangat lumrahnya itulah barangkali yang menyebabkan hampir tidak ada lagi orang yang peduli dan mau memikirkan atau merenungkan (kembali) apa sebenarnya makna hakiki dari istilah “iman” tersebut. Sehingga tidak mustahil bahwa arti dari kata atau istilah “iman” itu sendiri mengalami perkembangan (sesuai dengan “kodrat” bahasa), pergeseran bahkan penyimpangan yang bisa jadi justru berlawanan dengan makna ketika awal mulanya kata atau istilah itu diciptakan (diucapkan, dimengerti). Sehingga tak pelak, kita mengalami semacam kebingungan atau kerancuan dalam memahami/ memaknai istilah “iman” (semantic confusion).
Namun apabila kita mau memikirkan dan merenungkan, niscaya kita akan mengetahui bahwa keimanan adalah perasaan (kepercayaan) hati yang terdalam dari diri seseorang. Jadi, ruang-lingkup iman yang telah disama-artikan dengan “percaya” tersebut, semata-mata adalah di dalam hati. Atau dengan kata lain, keimanan adalah urusan (yang letaknya di) hati sehingga hanya orang bersangkutan dan Tuhan-lah yang mengetahuinya. Seolah-olah iman “tidak berkaitan langsung” dengan ucapan maupun perilaku pribadi maupun sosial. Sehingga tidak mengherankan bila sampai terjadi peristiwa orang berantem atau bahkan berperang saling bunuh dan menghancurkan, sama-sama atas Nama Tuhan yang sama (religious violence), sebagaimana hal itu terjadi di dalam sejarah agama-agama besar dunia.
Kalau kita tinjau kembali pengertian “iman” sebagaimana yang diajukan dalam al-Qur’an dan diajarkan oleh Rasulullah Muhammad saw., maka “iman” adalah “Ikatan hati yang diikrarkan melalui lisan dan diamalkan melalui laku-perbuatan” (HR. Ibnu Majah) atau dengan redaksi yang lain, “Iman” didefinisikan sebagai “Melihat dengan hati … (dst. sama)” (HR. Thabrani) atau “Membenarkan dengan hati …… (dst. sama).” (HR. Buhkari-Muslim). Di dalam kamus kata iimaanan (sebagai kata benda, noun) dan mukminun (kata pelaku, subyek) antara lain memang bisa berarti watsiqa atau percaya (lih. Kamus al-Munjid, al-Munawwir). Sedang menurut Hadits di atas, pengertian atau definisi “iman” menjadi tidak hanya sekedar percaya saja, akan tetapi mencakup keyakinan hati atau dasar pendirian yang dinyatakan dalam ucapan dan kemudian menjelma dalam tindakan (laku perbuatan). Jadi dengan kata lain ruang-lingkup pengertian “iman” menurut Hadits tersebut meliputi isi hati, ucapan, dan perbuatan (meliputi seluruh aspek hidup seseorang).
Apa yang ada dalam hati seseorang bila diungkapkan atau dinyatakan dengan lisan biasanya disebut sebagai pendapat atau pandangan orang tersebut. Sedangkan suatu tindakan atau perbuatan yang didahului oleh pandangan tertentu biasanya disebut dengan sikap. Hal ini untuk menegaskan perbedaan antara sebuah sikap dengan yang sekedar gerak refleks yaitu gerak tak sadar/spontan. Sehingga secara lebih komprehensif keimanan seseorang berarti merepresentasikan pandangan dan sikap hidup orang tersebut.
Kemudian, apa yang menjadi isi hati yang menjadi ikatan hidup seseorang? Di dalam al-Qur’an, antara lain dijelaskan, “yukminuuna bimaa unzila ilaika wa maa unzila min qablika” (Q.S. al-Baqarah: 4). Beriman dengan apa yang diturunkan kepada Anda dan dengan apa yang diturunkan sebelum Anda. Apa yang diturunkan kepada kita adalah al-Qur’an, dan yang diturunkan kepada umat sebelum kita adalah Taurat, Zabur, Injil dll. Namun dalam ayat yang lain (Q.S. al-‘Ankabut: 52) disebutkan bahwa alternatif iman tidak hanya dengan ajaran yang diturunkan oleh Tuhan saja, tetapi bisa dengan selain ajaran Tuhan yang disebut dengan ajaran bathil. Bahkan dalam surah an-Nisa’: 51 dinyatakan bahwa ada manusia yang menanggung derita sosial akibat beriman dengan ajaran jibti (wishful thinking spiritualism) dan ajaran thaghut (overdose materialism).
Jadi, “iman” secara umum adalah pandangan dan sikap hidup berdasarkan ajaran yang diturunkan dari Tuhan dan atau dengan ajaran-ajaran selainnya. Sedang secara khusus dapat disebut bahwa mereka yang beriman dengan ajaran Allah (al-Qur’an) sebagaimana diujudkan dan dibuktikan dalam kehidupan para Rasul-Nya adalah Mukmin haq (Q.S.al-Baqarah: 119,213; al-Imran:2, 86) atau biasa cukup disebut dengan Mukmin saja. Sedang mereka yang tidak beriman dengan al-Qur’an sebagaimana Sunnah para Rasul, disebut Mukmin bahtil (Q.S. Maryam: 84; al-Baqarah:168, 208; al-An’am:142) atau yang biasa disebut dengan istilah Kafir.
Lalu kalau kita benar-benar telah menyatakan diri sebagai Mukmin sejati, apakah layak melakukan tindakan bermusuhan (apalagi berperang dengan sesama orang yang menyatakan diri beriman), menodai keadilan, mengabaikan musyawarah, merusak lingkungan (sosial dan alam), korupsi, dan lain-lain, dimana hal itu semua bertentangan dengan perintah di dalam al-Qur’an? Bahkan bertentangan dengan seluruh Kitab Suci yang kita imani, yang kita percayai dengan sepenuh-penuhnya, yang menjadi pandangan dan sikap hidup para Mukmin sejati.[] (Untuk kajian selanjutnya dapat diikuti dalam edisi berikutnya)
Kepustakaan:
1. Al-Qur’an dan Hadits
2. Kitab Perjanjian Baru, Lembaga Al-Kitab Indonesia, Jakarta.
3. Kamus Bahasa Arab-Indonesia Al-Munawwir,
4. Kamus Bahasa Arab, al-Munjid
3. Adinegoro, Ensiklopedi Indonesia, Jakarta 1954.
4. DR. Hamka, Pelajaran Agama Islam, Jakarta 1960.
5. M. Hasby ash-Shiddieqy, Al-Islam, Jakarta, 1956.
6. Muhammad Abduh, Risalah Tauhid, terj. Indonesia H. Firdaus A.N. Jakarta, 1965.
Selasa, 12 Agustus 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar