Minggu, 05 September 2010

ANAK DAN AL-QUR'AN


Al-Ghazali menyatakan,"Anak adalah amanah di tangan ibu-bapakanya. Hatinya masih suci ibarat permata yang mahal harganya. Apabila dia dibiasakan pada suatu yang baik dan dididik, niscaya ia akan tumbuh besar dengan sifat-sifat yang baik dan akan bahagia dunia akhirat. Sebaliknya, bila ia dibiasakan dengan tradisi-tradisi buruk, tidak diperdulikan seperti halnya hewan, niscaya ia akan hancur dan binasa."

Anak tak ubahnya selembar kertas putih. Apa yang pertama kali ditorehkan disana, maka itulah yang akan membentuk karakter dirinya. Bila yang pertama ditanamkan adalah warna agama dan keluhuran budi pekerti, maka akan terbentuk antibodi (zat kebal) awal pada anak akan berpengaruh negatif, seperti benci kesombongan, rajin ibadah, tidak membangkang kepada orang tua, dsb. Jika yang ditanamkan sebaliknya, maka yang akan muncul adalah antibodi terhadap pengaruh positif, seperti malas beribadah, malas belajar, gila pujian, angkuh, dsb.

Sebagai umat Islam yang yakin terhadap agamanya pasti meyakini bahwa Al-Qur'an merupakan satu pedoman hidup yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 2, Al-Qur'an itu adalah pedoman hidup yang di dalamnya tidak ada keraguan dan merupakan petunjuk bagi orang-orang yang ingin bertakwa. Konsekuensinya, jika orang tua menginginkan anaknya menjadi insan-insan yang berkwa, harus ditanamkan kecintaan anak terhadap Al-Qur'an semenjak dini.


Kapankah seorang anak memiliki kesiapan untuk dididik Al-Qur'an? Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, Rasulullah bersabda: "Suruhlah anak-anakmua menjalankan shalat di saat umur tujuh tahun, beri mereka pukulan (dalam rangka mendidik) bila meninggalkan shalat pada saat umur sepuluh tahun, dan pisahkan tempat-tempat tidur di antara mereka." (H.R. Abu Dawud)

Berdasarkan hadits tersebut idealnya anak menerima pendidikan Al-Qur'an secara formal pada usia 4-6 tahun. Mengapa usia itu dianggap ideal, sebab pada usia 7 tahun anak sudah diperintahkan untuk berlatih shalat, sedangkan dalam melakukan shalat seorang anak membutuhkan kelancaran bacaan-bacaan Al-Qur'an, minimal surat al-Fatihan dan surat-surat pendek, sisamping bacaan-bacaan doa.

Satu hal yang sangat penting adalah pelaksanaan pendidikan yang berkelanjutan. Pendidikan dimulai dengan pemberantasan buta huruf Al-Qur'an, agar seorang anak mampu melafalkan huruf-huruf Al-Qur'an dengan baik dan lancar. Kita patut mengapresiasi usaha sahabat-sahabat kita yang telah berjuang melakukan pemberantasan buta huruf Al-Qur'an dengan mendirikan TPA yang kini makin bertebaran. Namun, agar proses pendidikan umat Islam tidak berjalan ditempat, usaha tersebut perlu ditindaki dengan pemberantasan buta makna Al-Qur'an. Jika hal tersebut tidak dilakukan akan terjadi fenomena-fenomena seperti sekarang ini. Banyak orang membaca Al-Qur'an tidak tahu maknanya.

Seperti telah kita ketahui bersama bahwa Al-Qur'an itu adalah pedoman hidup bagi manusia yang meyakininya. Dengan pedoman tersebut seseorang akan menjalani kehidupannya, memecahkan segala permasalah yang dihadapinya, dan merupakan bahasa yang dipakai Allah untuk menyatakan kehendaknya bagaiman berperilaku hidup dengan baik dan benar. Tanpa memahami maknanya, bagimana mau menjadikannya sebagai pedoman?

Sabtu, 04 September 2010

BERPUASA DI LUAR RAMADAN


Seusai Perang Badar (perang melawan kaum musyrik Quraisy di Mekkah) Nabi Muhammad SAW mengatakan kepada para sahabatnya,“Kita akan menghadapi perang yang lebih besar lagi.

”Para sahabat bertanya kepada Nabi,“Perang apa itu ya Rasulullah?” Nabi menjawab, ”Perang melawan nafsu!”Ini sebagai peringatan Nabi bahwa nafsu dalam diri manusia itu merupakan musuh terbesar. Nafsu merupakan musuh yang tak terlihat,musuh dalam selimut, dan selalu siap menerkam manusia yang lalai dalam hidupnya. Ini sangat berbeda dengan musuh di medan perang yang secara fisik bisa dideteksi dan dilawan dengan menggunakan senjata.

Dalam Alquran, Allah menegaskan ”Innannafsa laammaratun bissui illa ma rahima rabbi,” .Artinya, sesungguhnya nafsu itu selalu me-nyuruh kepada kejahatan kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku (QS Yusuf: 53).Berikut ini digambarkan tentang nafsu berkuasa, nafsu serakah,dan nafsu bersenang-senang. Nafsu berkuasa yang tanpa batas telah membuat seseorang menjadi diktator dan tiran.Takhta kekuasaan ini biasanya dikelilingi wanitawanita yang dia kawini atau dia pelihara sebagai pemuas nafsu seksnya.

Fir’aun (Pharaoh), raja Mesir kuno itu, adalah contoh konkret dari seorang raja zalim yang mabuk kekuasaan. Dia memegang kekuasaan tanpa batas, membunuh siapa saja yang menentangnya, bertindak Machiavellistis,dan dengan arogan mengklaim sebagai tuhan. Banyak lagi para penguasa otoriter, diktator dan tiran dalam sejarah yang mirip Fir’aun dan bermental Fir’aunisme.

Selanjutnya, nafsu serakah juga dapat membuat manusia menjadi rakus, tamak, dan selalu haus akan harta benda.Dia tidak pernah puas dan selalu ingin memperbanyak harta benda sesuai dengan nafsu serakah yang menguasai dirinya. Dalam memperoleh harta itu, dia tak segan-segan menempuh prinsip “tujuanmenghalalkancara.” Baginya, uang dan harta menjadi tujuan hidup dan harta kekayaan itu menjadi ukuran segala-galanya.

Dia sangat mengesampingkan atau bahkan meninggalkan nilainilai spiritual dan rohaniah dalam hidupnya. Nafsu bersenang-senang pada manusia dapat membuat dirinya menjadi manusia hedonis-permisif. Gebyar kesenangan duniawi menjadi orientasi dan tujuan utama hidupnya. Manusia hedonis-permisif selalu ingin melampiaskan dorongan hawa nafsunya pada pemuasan seks di luar nikah dan nafsu-nafsu rendah lain.

Manusia hedonis-permisif tidak mengenal batas haram-halal, karena yang penting adalah kesenangan duniawi yang didorong oleh gejolak pemuasan nafsunya. Dalam Alquran Surat Yusuf ayat 53 yang dikutip di atas dijelaskan bahwa tidak semua nafsu itu jelek (mendorong manusia berbuat jahat dan maksiat).Tapi ada pula nafsu yang baik, yaitu nafsu “yang dirahmati Tuhan”,yang mendorong manusia berbuat kebajikan.

Nafsu yang baik dan dirahmati Tuhan inilah yang harus selalu unggul dan menang atas nafsunafsu rendah dalam diri manusia. Allah mengajarkan metode untuk memenangkan nafsu yang baik atas nafsu yang rendah itu dengan cara melaksanakan ibadah puasa Ramadan.

Trilogi Kejujuran

Manusia yang sukses mengalahkan nafsu jelek dan memenangkan nafsu yang baik akan terbentuk, secara umum, tiga macam kejujuran dalam dirinya: kejujuran kepada Allah,kejujuran kepada orang lain, dan kejujuran kepada diri sendiri.Trilogi kejujuran ini, dalam pandangan Islam, sangat erat berkaitan.

Ketiganya terintegrasi dalam jalinan dan rajutan yang sangat kuat, utuh dan padu dalam totalitas sistem ajaran Islam.Tak mungkin kejujuran kepada Allah tidak mempunyai efek terhadap kejujuran kepada orang lain dan kejujuran kepada diri sendiri. Kejujuran kepada Allah,misalnya, tercermin pada tabiat, perangai, dan perilaku seorang muslim yang secara konsisten tetap menjauhi larangan Allah, walaupun dia–seandainya mau berbuat–tidak melihat Allah ketika akan, sedang, dan sesudah melakukan perbuatan yang terlarang itu.

Dia tidak melihat Allah, tetapi dia merasa dirinya selalu diperhatikan terus-menerus dan diawasi secara langsung oleh Allah. Karena itu dia, misalnya, tidak mau melakukan kolusi, korupsi,dan nepotisme (KKN) karena sifat-sifat kejujurannya kepada Allah sudah merasuk ke dalam tulang sumsum dan urat nadinya. Kejujuran kepada orang lain tecermin, misalnya, pada perilaku seseorang yang tidak mau mengambil atau tidak mengurangi hak-hak orang lain.

Dia secara sadar tidak melakukan perbuatanperbuatan tercela seperti itu karena dia tidak ingin merugikan orang lain. Dia tidak ingin mengambil atau mencuri hak-hak orang lain karena sadar bahwa perbuatan demikian adalah amoral dan batil. Sebenarnya, kalau mau, dia bisa saja melakukannya; tapi dia tidak melakukannya karena jujur kepada orang lain. Kejujuran kepada diri sendiri tecermin pada perilaku seseorang yang sangat konsisten dengan nilainilai moral pribadinya yang kuat, baik dan benar.

Di bulan Ramadan contohnya, dia bisa saja tidak berpuasa karena para tetangga dan orang lain di sekitarnya tidak tahu atau tidak melihatnya.Tetapi dia tidak melakukannya karena dia jujur kepada dirinya dan jujur kepada Allah. Dia sebenarnya punya peluang untuk melakukan KKN, tapi tidak melakukannya karena jujur kepada dirinya sendiri.Karena kejujuran itu harus juga berlaku bagi dirinya.

Dari sudut pandang agama,kejujuran kepada Allah sangat mempunyai korelasi positif dengan kejujuran kepada orang lain dan kejujuran kepada diri sendiri. Kalau kejujuran kepada Allah tidak mempunyai korelasi dan efek positif dan signifikan terhadap kejujuran kepada orang lain dan kejujuran kepada diri sendiri,itu berarti ada sesuatu yang salah dalam diri seseorang dalam melakukan kejujuran kepada Allah.

Akan tetapi, kalau kejujuran kepada Allah itu dilakukan dengan baik dan benar oleh seseorang, sudah pasti hal itu akan mempunyai korelasi dan dampak positif dan signifikan pada diri orang itu dalam melaksanakan kejujuran kepada orang lain dan kejujuran kepada diri sendiri.

Berpuasa di Luar Ramadan

Nilai-nilai ajaran puasa Ramadan sebagaimana dilukiskan di atas hendaknya dapat kita laksanakan di luar bulan Ramadan. Dengan kata lain, kita hendaknya “berpuasa” di luar bulan Ramadan dalam arti kita mampu mencegah diri dan menahan diri untuk tidak mengumbar nafsu berkuasa yang tanpa batas (absolut, sewenang-wenang, menyimpang dari aturan main, dan bermental Fir’aunisme); menahan diri dan mencegah diri untuk tidak mengumbar nafsu serakah, rakus, dan tamak; dan menahan diri dan mencegah diri untuk tidak mengumbar nafsu bersenangsenang (hedonis-permisif).

Kita berpuasa di luar bulan Ramadan dalam arti menahan diri dan mencegah diri untuk tidak melakukan kebohongan kepada Allah, kebohongan kepada orang lain (publik), dan kebohongan kepada diri sendiri. Dengan kata lain, di luar bulan Ramadan pun kita harus tetap jujur kepada Allah,jujur kepada orang lain, dan jujur kepada diri sendiri.

Jika kita mampu berpuasa di bulan Ramadan dan mampu pula “berpuasa” di luar bulan Ramadan, itu berarti kita berhasil melaksanakan puasa dengan nilai baik. Kita yakin ajaran dan nilai-nilai puasa di bulan Ramadan sangat berkorelasi secara positif dan signifikan dengan “puasa” di luar bulan Ramadan. Jika tidak, ada sesuatu yang salah dengan puasa Ramadan kita. Kita harus introspeksi diri dan sekaligus memperbaiki diri sebelum terlambat! (*)
SINDO, Wednesday, 01 September 2010

Prof Dr Faisal Ismail MA
Guru Besar UIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta

PENDIDIKAN BUKAN UNTUK PENGUASA

Pendidikan berfungsi memanusiakan manusia, bersifat normatif, dan mesti dapat dipertanggungjawabkan. Karena itu, idealnya pendidikan tidak dilaksanakan secara sembarangan, melainkan seyogyanya dilaksanakan secara bijaksana. Pendidikan hendaknya merupakan yang betul-betul disadari, jelas landasannya, tepat arah dan tujuannya, efektif dan efisien pelaksanaannya.

Belajar tidak hanya sekedar mengingat. Bagi siswa untuk benar-benar mengerti dan dapat menerapkan ilmu pengetahuan, mereka harus belajar memecahkan masalah, menemukan sesuatu bagi dirinya sendiri, dan selalu bergaul dengan ide-ide. Tugas pendidikan tidak hanya menuangkan sejumlah informasi ke dalam benak siswa, tetapi mengusahakan bagaimana agar konsep-konsep penting dan sangat berguna tertanam kuat dalam benak siswa.

Pandangan terhadap sekolah sebagai alat transformasi pendidikan sudah mendapat banyak kritik, salah satunya adalah Freire. Dia mengatakan bahwa sekolah selama ini menjadi alat penjinakan, yang memanipulasi peserta didik agar mereka dapat diperalat untuk melayani kepentingan kelompok yang berkuasa. Demikian juga dengan Illich (1972), yang mengatakan bahwa sekolah semata-mata dijadikan alat legetimasi sekelompok elite sosial. Sekolah sebagai suatu lembaga pendidikan baru justru menggali jurang (gap) sosial. Sebagian orang yang mengenyam pendidikan formal membentuk kubu elite sosial (setelah ada legetimasi berupa ijazah, kepandaian dan kesempatan) dalam kehidupan bermasyarakat sering memegang peranan dan posisi kunci dalam menentukan kebijakan yang menyangkut hajat hidup orang banyak.

Pada abad ke 20 telah terjadi perubahan besar mengenai konsepsi pendidikan dan pengajaran. Perubahan tersebut membawa perubahan pula dalam cara belajar mengajar di sekolah. Dari cara-cara pengajaran lama di mana murid-murid harus diajar dengan diberikan pengetahuan sebanyak mungkin dalam berbagai mata pelajaran, berangsur-angsur beralih ke arah penyelenggaraan sekolah progresif, sekolah kerja, sekolah pembangunan dan sekolah yang menggunakan CBSA. Mula-mula, situasi pengajaran di sekolah lebih menonjolkan peranan guru dengan tujuan untuk penguasaan materi pelajaran yang direncanakan oleh guru. Murid-murid lebih bersifat pasif hanya tinggal menerima apa yang disuguhkan guru. Kurikulum sepenuhnya direncanakan dan di susun oleh guru atau sekolah tanpa melibatkan peserta didik.

Bagaimana dengan kita, apakah kita telah siap melakukan feformasi terhadap pendidikan yang memanusiakan manusia? Pendidikan yang tidak memanipulasi peserta didik agar dapat diperalat untuk memenuhi kepentingan kelompok tertentu.


Bacaaan:
Ihat Hatimah, dkk, Pembelajaran Berwawasan Kemasyarakatan, (Jakarta: Penerbit Universitas Terbuka, 2008), hal.

Jumat, 03 September 2010

PENTINGNYA MEDIA PEMBELAJARAN DALAM MENINGKATKAN BELAJAR SISWA

Di dalam proses belajar mengajar siswa sering menjadi kambing hitam ketika pembelajaran tidak memenuhi target seperti yang diinginkan. Banyak alasan dilontarkan, seperti karena siswa malas, kurang perhatian ketika guru menerangkan mata pelajaran, bodoh, kurangnya fasilitas pembelajaran, dsb. Hal tersebut memang bisa terjadi. Tetapi sudahkah para pengajar melakukan instrospeksi terhadap kinerjanya? Apakah para pengajar telah mengerahkan segenap kemampuannya dalam mengajar siswa-siswanya?

Sering terjadi seorang guru tidak kreatif dalam menggunakan metode pengajaran. Mereka sudah cukup puas dengan metode konvensional sehingga kurang memotivasi siswa dalam mengikuti proses belajar mengajar. Mereka mengandalkan metode ceramah yang sangat membosankan sehingga tidak terjadi proses belajar mengajar yang menarik dan menyenangkan di dalam kelas.

Akibat dari semua itu sering terjadi seorang siswa mengalami kejenuhan di dalam mengikuti proses belajar mengajar di kelas, dimana banyak peserta didik yang merasa sekolah ibarat penjara, sekolah tidak bisa menimbulkan semangat belajar. Bahkan lebih parah, banyak peserta didik yang paling suka bila sang guru absen, tanpa merasa kehilangan sesuatu. Boleh jadi, fenomena tersebut disebabkan selama ini peserta didik hanya diposisikan sebagai objek atau robot yang harus dijejali beragam materi sehingga membuat peserta didik tidak betah di kelas. Sedangkan, pengajaran yang baik yaitu ketika para peserta didik bukan hanya sebagai objek tapi juga subyek. Jadi siswa akan menjadi aktif tidak pasif sehingga peserta didik akan merasa betah dalam mengikuti proses belajar mengajar dan paham terhadap penjelasan guru. Untuk mengejawantahkan hal ini dibutuhkan kejelian dan kreatifitas guru dengan cara mendisain model pembelajaran sehingga peserta didik merasa enjoy dan pas atas sajian yang disampaikan oleh guru tanpa merasa bosan dan terkekang.

Salah satu cara untuk meningkatkan belajar siswa adalah dengan memanfaatkan media pembelajaran. Dengan memanfaatkan media tersebut proses belajar mengajar di kelas menjadi menarik dan menyenangkan, berbeda dengan pendekatan konvensional yang hanya mengadalkan ceramah.

Istilah media berasal dari bahasa latin yang merupakan bentuk jamak dari medium yang secara harafiah berarti perantara atau pengantar. Makna umumnya adalah segala sesuatu yang menyalurkan informasi dari sumber informasi kepada manusia. Istilah media ini sangat populer dalam bidang komunikasi. Proses belajar mengajar pada dasarnya juga merupakan proses komunikasi, sehingga media yang digunakan dalam pembelajaran disebut media pembelajaran.

Media Pembelajaran adalah alat yang digunakan untuk memperagakan fakta, konsep, prinsip atau prosedur tertentu agar tampak lebih nyata/konkrit. Alat-alat bantu itu dimaksudkan untuk memberikan pengalaman lebih konkrit, memotivasi serta mempertinggi daya serap dan daya ingat siswa dalam balajar.

Ada banyak manfaat jika guru mau memanfaatkan media pembelajaran. Secara umum, manfaat media dalam proses pembelajaran adalah memperlancar interaksi antara guru dengan siswa sehingga pembelajan akan lebih efektif dan efisien. Tetapi secara lebih khusus ada beberapa manfaat media lebih rinci. Kemp dan Dyaton (1985) misalnya, mengidentifikasi beberapa manfaat media dalam pembelajaran, yaitu:

  • Penyampaian materi pelajaran dapat diseragamkan
Setiap guru mungkin mempunyai penafsiran yang berbeda-beda terhadap suatu konsep materi pelajaran tertentu. Dengan bantuan media, penafsiran yang beragam tersebut dapat dihindari sehingga dapat disampaikan kepada siswa secara seragam. Setiap siswa yang melihat atau mendengar uraian suatu materi pelajaran melalui media yang sama, akan menerima informasi yang persis sama seperti yang diterima siswa-siswa lain. Dengan demikian, media juga dapat mengurangi terjadi kesenjangan informasi diantara siswa di manapun berada.

  • Proses Pembelajaran Menjadi Lebih Jelas dan Menarik
Dengan berbagai potensi yang dimilikinya, media dapat menampilkan informasi melalui suara, gambar, gerakan dan warna, baik secara alami maupun manipulasi. Materi pelajaran yang dikemas melalui program media, akan lebih jelas, lengkap, menarik minat siswa. Dengan media, bahan materi sajian bisa membangkitkan rasa keingintahuan siswa, merangsang siswa bereaksi baik secara fisik maupun emosional. Pendeknya, media dapat membantu guru untuk menciptakan suasa belajar menjadi lebih hidup, tidak monoton dan tidak membosankan.

  • Proses Pembelajaran Menjadi Interaktif
Jika dipilih dan dirancang secara baik, media dapat membantu guru dan siswa melakukan komunikasi dua arah secara aktif selama proses pembelajaran. Tanpa media, seorang guru mungkin akan cenderung berbicara satu arah kepada siswa. Namun dengan media, guru dapat mengatur kelas sehingga bukan hanya guru sendiri yang aktif tetapi juga siswa.

  • Efisiensi dalam waktu dan tenaga
  • Meningkatkan kualitas hasil belajar siswa
Penggunaan media bukan hanya membuat proses belajaran lebih efisien, tetapi juga membantu siswa menyerap materi belajar lebih mendalam dan utuh. Bila hanya dengan mendengarkan informasi verbal dari guru saja, mungkin siswa kurang memahami pelajaran secara baik. Tetapi jika hal itu diperkaya dengan kegiatan melihat, menyentuh, merasakan atau mengalami sendiri melalui media, maka pemahaman siswa pasti akan lebih baik.

  • Media memungkinkan proses belajar dapat dilakukan dimana saja dan kapan saja
Media pembelajaran dapat dirancang sedemikian rupa sehingga siswa dapat melakukan kegiatan belajar secara lebih leluasa, kapanpun dan dimanapun, tanpa tergantung pada keberadaan seorang guru. Program-program pembelajaran audio visual, termasuk program pembelajaran menggunakan komputer, memungkin siswa dapat melakukan kegiatan belajar secara mandiri, tanpa terikat oleh waktu dan tempat. Penggunaan media akan menyadarkan siswa betapa banyak sumber-sumber belajar yang dapat mereka manfaatkan untuk belajar. Perlu kita sadari bahwa alokasi waktu belajar di sekolah sangat terbatas, waktu terbanyak justru dihabiskan siswa di luar lingkungan sekolah.

  • Media dapat menumbuhkan sikap positip siswa terhadap materi dan proses belajar
Dengan media, proses pembelajaran menjadi lebih menarik sehingga mendorong siswa untuk mencintai ilmu pengetahuan. Kebiasaan siswa untuk belajar dari berbagai sumber tersebut, akan bisa menanamkan sikap kepada siswa untuk senantiasa berinisiatif mencari berbagai sumber belajar yang diperlukan.

  • Proses Pembelajaran Menjadi Lebih Jelas dan Menarik
Dengan memanfaatkan media secara baik, seorang guru bukan lagi menjadi satu-satunya sumber belajar bagi siswa. Seorang guru tidak perlu menjelaskan seluruh materi pelajaran, karena bisa berbagi dengan media. Dengan demikian, guru akan lebih banyak memiliki waktu untuk memberi perhatian kepada aspek-aspek edukatif lainnya, seperti membantu kesulitan belajar siswa, pembentukan kepribadian, memotivasi belajar, dll.

Demikianlah, jika media dimanfaatkan secara optimal kualitas belajar siswa akan meningkat sehingga akan menghasil output yang memuaskan. Selain prestasi akademik mereka akan mengalami peningkatan, diharapkan belajar yang berkualitas akan mengubah perilaku perserta didik.

Kamis, 02 September 2010

PADADOKS RAMADAN

SETIDAKNYA ada tiga sikap, perilaku, dan budaya yang ditampilkan sebagian besar umat Islam selama bulan suci Ramadan yang bertentangan secara diametris dengan nilai dan pesan Ramadan itu sendiri. Sikap, perilaku, dan budaya tersebut telah berlangsung bertahun-tahun dan sampai sekarang belum berubah, bahkan semakin bertambah. Itu bisa disebut sebagai paradoks Ramadan.

Pertama, sikap, perilaku, dan budaya yang ignoring terhadap nilai penting Ramadan sebagai kawah candradimuka pengembangan kepribadian. Ini mengejawantah dalam kecenderungan sedih menyambut Ramadan dan gembira saat melepasnya. Sebagian umat menampilkan sikap sedih, bahkan ada yang rejectif terhadap kehadiran bulan suci Ramadan, karena membayangkan lapar dan dahaga dalam ibadah puasa serta beban-beban ibadah lain selama Ramadan.

Sikap dan perilaku itu berbeda dengan yang ditampilkan Rasulullah SAW dan para sahabat. Mereka gembira menyambut Ramadan dan bersedih saat melepasnya. Gembira karena menemui kembali sang tamu agung yang ditunggu-tunggu. Dan, bersedih saat melepasnya karena belum tentu dapat menemuinya kembali tahun depan.

Kedua
, Ramadan menekankan esensi pengendalian diri (imsak). Bahkan, para fuqaha mendefinisikan puasa sebagai ''imsak dari makan minum dan hubungan suami istri pada siang hari Ramadan''. Sebagai esensi Ramadan, budaya imsak akan membawa konsekuensi logis pada penghematan dan kebersahajaan. Termasuk dalam mengonsumsi makanan, minuman, dan pakaian.

Namun, budaya imsak itu nyaris tidak hadir selama Ramadan. Umat Islam justru lebih banyak menampilkan dan terjebak pada budaya konsumtif. Dengan demikian, istilah konsumtivisme Ramadan bukanlah mengada-ada karena telah menjadi fakta.


Selama Ramadan, umat terjebak ke dalam konsumtivisme yang ekstrem. Berpuasa, rupanya, hanyalah mengubah jadwal makan dari tiga kali sehari di luar Ramadan menjadi dua kali, yakni sahur dan buka. Tetapi, dengan makanan yang banyak dan volume makan yang besar. Begitu pula menu Ramadan -baik kuantitatif maupun kualitatif- melebihi menu sehari-hari di luar Ramadan.



Tak pelak lagi, biaya konsumsi masyarakat Indonesia -tentu dengan mayoritas pemeluk Islam- meningkat hampir dua kali lipat pada bulan Ramadan. Apalagi, harga-harga barang pokok meningkat selama Ramadan. Dengan demikian, biaya yang harus dikeluarkan meningkat pula.

Konsumtivisme Ramadan tersebut masih bertambah pada barang-barang lain di luar makan minum, seperti pakaian dan keperluan rumah tangga lain. Karena itu, konsumtivisme Ramadan pun tampak melimpah ruah di pasar-pasar, supermarket, dan mal, khususnya pada sepuluh hari terakhir Ramadan.

Di sini terjadi paradoks antara esensi Ramadan atau imsak yang seharusnya mendorong sikap serta perilaku berhemat dan bersahaja dengan fakta praktik yang sangat konsumtif. Konsumtivisme Ramadan itu menunjukkan bahwa umat Islam terjebak ke dalam pemborosan besar-besaran. Padahal, Alquran menegaskan dengan jelas bahwa kaum pemboros (mubazir) adalah kroni setan.

Ketiga, paradoks dalam hal etos kerja dan produktivitas. Yang ditampilkan umat Islam selama Ramadan berbeda dengan yang ditunjukkan Rasulullah SAW dan para sahabat yang terjun ke medan perang (Perang Badar) dalam bulan Ramadan. Berpuasa ternyata tidak harus menjadi kendala untuk melakukan aktivitas fisik. Ramadan tidak harus mengurangi produktivitas. Bahkan, sebaliknya, harus mendorong etos kerja dan peningkatan produktivitas.

Itu berbeda dengan yang ditampilkan umat Islam saat ini. Selama Ramadan -mungkin karena lapar dan dahaga berpuasa atau karena harus mengisi malam Ramadan dengan tarawih, tadarus, dan iktikaf- banyak umat pada siang hari terlena dalam tidur pulas. Itu terjadi di rumah-rumah maupun di masjid dan musala.

Produktivitas umat nyaris macet total. Seperti macetnya jalan-jalan raya banyak kota besar di Indonesia selama bulan suci Ramadan. Sebab, mereka memilih cepat meninggalkan kantor atau tempat bekerja untuk pulang ke rumah.

Itulah paradoks Ramadan. Dan, inilah kendala peningkatan kualitas hidup umat. Untuk mengikisnya, tiada lain kecuali kesediaan melakukan reformasi diri; mengubah sikap, perilaku, dan budaya tersebut sesuai dengan apa yang telah dicontohkan Rasulullah SAW dan para sahabat, serta sesuai dengan pesan Ramadan itu sendiri.

Reformasi diri tersebut menuntut adanya komitmen kuat untuk berubah dan berorientasi kepada kualitas diri dan pengembangan kepribadian. Inilah yang seharusnya dilakukan umat sekarang, baik secara individual maupun kolektif. Selamat menunaikan ibadah puasa. (*)

Jawa Pos, Kamis, 19 Agustus 2010

Prof Dr Din Syamsuddin, Ketua Umum PP Muhammadiyah

Jumat, 15 Mei 2009

Rabu, 10 September 2008

PERIODISASI NUZULUL-QUR’AN

Penulis cenderung mengartikan nuzulul-qur’an, secara harafiah, sebagai proses penurunan Qur’an. Dengan pengertian ini kita dapat membagi nuzulul-qur’an menjadi dua babak, yaitu babak historis dan babak rekonstruksi.

Babak histories [sejarah] dihitung mulai dari turunnya wahyu pertama sampai wahyu terakhir, yang makan waktu sekitar 23 tahun. Kronologis, babak ini pun terbagi menjadi dua periode, sesuai dengan waktu dan tempat penurunan Qur’an, yaitu 13 tahun di Makkah dan 10 tahun di Madinah. Filosofis, pembagian menjadi periode Makkah dan Madinah ini bukanlah tanpa arti. Nurcholis Madjid, misalnya, menggambaarkan demikian:

Di Makkah Nabi mengajarkan tentang cita-cita keadilan sosial yang antara lain mendasari konsep-konsep tentang harta yang halal dan yang haram [semua harta yang diperoleh melalui penindasan adalah haram], keharusan menghormati hak milik sah orang lain, kewajiban mengurus harta anak yatim secara benar, perlindungan terhadap kaum wanita dan janda, dst. Itu semua tidak akan tidak melahirkan system hukum, sekalipun keadaan di Makkah belum mengijinkan bagi nabi untuk melaksanakannya. Maka tindakan Nabi dan kebijaksanaaannya di Madinah adalah kelanjutan yang sangat wajar dari apa yang telah dirintis pada periode Makkah itu.

Dalam istilah yang lebih tajam, Periode Makkah adalah periode perombakan kesadaran. Seorang narasumber yang tidak perlu disebutkan namanya, menyebut Periode Makiah sebagai tahap revolusi ilmu, dan ini dikatakannya sebagai tahap yang paling berat dan proses penegakan risalah. Dalam periode inilah dilakukan penguasaan ilmu secara prinsip dalam arti pure scientific [murni teoritis]. Bila kita gunakan sudut pandang hadits, pada periode ini ayat-ayat yang turun baru berupa mufashshil [penjelasan rinci] tentang sorga [haq] dan neraka [bathil]. Sedangkan pada periode Madinah, ilmu yang teoritis itu sudah dijelmakan menjadi sistem hukum yang dilaksanakan. Dengan kata lain, umat yang berhijrah dari Makkah ke Madinah itu hijrah dengan membawa teori yang siap dilahirkan menjadi pedoman kerja praktis, sehingga mereka dapat mewujudkan pengetahuan yang telah dikuasai menjadi kenyataan obyektif.

Umat Islam pada umumnya tidak menyadari kenyataan sejarah ini, sehingga otomatis tidak bisa menjadikannya sebagai cermin. Alhasil, mereka pun menjadi tidak mampu melakukan rekonstruksi sejarah tersebut. Tegasnya, mereka menjadi tidak mampu mengulang sejarah.

Bila diingat bahwa data sejarah tersebut tersimpan dalam al-Qur’an dan Hadits, kebutaan umat Islam akan sejarah tersebut merupakan tanda bahwa mereka kurang [atau tidak?] mempelajari kedua sumber data itu secara serius. Padahal, bila mereka ingin mengulang sejarah, Qur’an dan Hadits harus dipelajari dengan cermat. Hasrat menegakkan ajaran Islam tanpa menengok persyaratan ini artinya sama dengan menegakkan benang basah atau menggantang angin. Hanya buang enerji. Atau seperti kata penyair Khairil Anwar, hidup ini Cuma berarti menunda-nunda kekalahan, karena sudah memilih jalan kalah. Dengan kata lain, pengakuan bahwa konsep Islam itu unggul tiada tanding [Al-Islamu ya’lu wa la yu’la ‘alaih], adalah pengakuan kosong belaka. Mereka tetap hidup dengan konsep yang lain, yang nota bene tidak seunggul konsep Islam.

Jadi, sekali lagi, bila kita hendak menjadikan Qur’an sebagai pedoman hidup, jelas sekali bahwa kita harus mempelajari Qur’an berikut prosedur dan proses penurunannya, yang kini mungkin lebih dikenal sebagai sejarah nabi Muhammad. Dengan kata lain pengkajian Qur’an itu harus dilakukan dalam kerangka kesadaran sejarah, atau dengan memahami filsafat sejarah.

Secara ringkas yang penulis maksud sebagai kesadaran sejarah adalah suatu bentuk kesadaran [jalan pikiran] yang menyadari bahwa setiap manusia, setiap bangsa, pada dasarnya menjalani suatu bentuk kehidupan yang merupakan perulangan dari bentuk kehidupan yang relative sama di masa lalu. Hal itu terjadi karena mereka menerapkan konsep yang relative sama. Dengan kata lain, perulangan itu terjadi bukan tanpa kesengajaan, bahkan boleh jadi merupakan suatu hasil rekonstruksi yang dilakukan dengan penuh kesadaran [kesengajaan]. Kesadaran seperti inilah yang harus dikembangkan ketika kita mengkaji Qur’an dan/atau sejarah Nabi Muhammad.

Bicara tentang sejarah Nabi Muhammad, umumnya orang berasosiasi pada buku-buku sejarah yang beredar di took-toko buku. Mereka lalu berlomba-lomba membeli buku-buku sejarah yang jumlahnya dan versinya banyak itu. Hasilnya, mereka menjadi ragu memastikan mana yang benar di antara banyak data yang disebut, yang sering bertentangan satu sama lain. Ada yang bingung karena penyebutan tahun yang berbeda, atau karena ucapan tokoh anu yang di satu buku disebutkan demikian tapi di buku yang lain dikatakan lain lagi, atau karena menurut penulis A tokoh Fulan benar-benar ada tapi kata penulis B itu hanya tokoh fiktif belaka, atau menurut satu mazhab si Anu itu berhak menjadi khalifat tapi menurut mazhab lain ia adalah perampas hak orang lain.

Data obyektif dari sejarah Nabi Muhammad adalah Qur’an. Karena itu, menomorsekiankan Qur’an demi mengejar sumber-sumber yang lain [termasuk hadits] adalah kesalahan besar, karena semua sumber selain Qur’an hanya bisa dijadikan tambahan [complement]. Qur’an mengajarkan kepada kita bahwa yang harus dipetik dari sejarah adalah prinsipnya, bukan data tentang tahun-tahun kejadian suatu peristiwa atau biografi rinci tokoh-tokoh sejarah.

Orang bilang sejarah berulang; dan perlu ditegaskan sekali lagi di sini bahwa perulangan sejarah itu tidak terjadi secara otomatis, tapi disengaja oleh manusia, karena manusia mengikuti sunnatullah yang beruba kecenderungan meneladani. Dengan kata lain, meneladani artinya mengulang sejarah. Meneladani Nabi berarti mengulangi sejarah Nabi! Lalu, bagaimana bisa mengulang bila tidak mempelajari?

Keharusan mempelajari Al-Qur’an dan meneladani akhlak Nabi Muhammad memang sudah lama dipromosikan orang. Namun di sinipun ada kekeliruan terminologis [istilahi], yang tentu saja berpengaruh pada pemahaman. Mempelajari al-Qur’an dan akhlak Nabi Muhammad adalah bukanlah dua pekerjaan yang terpisah. Bukankah akhlak Nabi Muhammad adalah al-Qur’an? Dengan kata lain, al-Qur’an adalah data akhlak Nabi. Maka mempelajari al-Qur’an berarti mempelajari akhlak Nabi. Mempraktikan al-Qur’an berarti meneladani akhlak Nabi.

Lalu bagaimana peran Hadits? Di sinilah kita memerlukan kejernihan berpikir dalam memaham akhlak Nabi. Pembicaraan tentang ini biasa kita mulai dari jawaban Aisyah ketika ditanya tentang akhlak Nabi. Aisyah mengatakan bahwa akhlak Nabi adalah al-Qur’an. Cara berpikir yang lugu akan menarik kesimpulan bahwa data akurat tentang akhlak Nabi hanya ada di dalam al-qur’an, tidak dalam sumber-sumber yang lain, termasuk hadits. Cara berpikir seperti inilah yang telah melahirkan aliran inkar sunnah. Sunnah [maksudnya hadits] menurut mereka adalah hasil karya manusia, sehingga akurasinya tidak bisa dijamin. Cara berpikir seperti ini jelas naïf. Hadits umumnya berisi sabda Nabi, yang sampai dari satu ke lain orang melalui pemberitaan dari mulut ke mulut, dan sebagian dilengkapi dengan data tulisan. Baru belakangan sebagian besar Hadits dibukukan. Bila proses pembukuan hadits ini dianggap tidak akurat, maka otomatis pembukuan al-Qur’an pun bisa dianggap tidak akurat, karena dilakukan dengan proses yang relative sama. Bedanya, pembukuan al-Qur’an dilakukan pada saat para sahabat yang dekat dengan nabi masih hidup, dan dengan cara mengumpulkan data tulisan di berbagai sarana [kulit, tulang, pelepah kurma, dan lain-lain], sedangkan pembukuan hadits baru dilakukan lama setelah mereka tiada. Perbedaan masa pembukuan itulah yang akhirnya melahirkan ilmu kritik hadits, dan lain-lain, yang tujuannya adalah memilah antara hadits yang akurat [shahih] dan tidak.

Memahami pernyataan Aisyah bahwa akhlak Nabi adalah al-Qur’an harus dihubungkan dengan pernyataan-pernyataan al-Qur’an sendiri. Al-Qur’an, misalnya, menegaskan bahwa Rasulullah [termasuk Muhammad] adalah uswatun hasanah atau tauladan sempurna [al-Ahzab:21]. Karena itu, mentaati Rasulullah berarti mentaati Allah [An-Nisa’:80]. Rasulullah adalah pola keimanan [al-Baqarah:137]. Dengan penegasan ayat-ayat tersebut, dan banyak lagi ayat-ayat lain yang bisa diajukan, jelaslah bagi kita bahwa Rasulullah adalah wakil [representatitive] dari ruh [spirit real meaning] al-Qur’an. Qua data, gambaran yang lengkap tentang keadaan rasulullah sebagai wakil al-Qur’an itu tidak hanya terdapat dalam al-Qur’an, tapi juga dalam hadits-hadits shahih, serta buku-buku sejarah [yang tidak penuh bias/penyimpangan]. Karena itu, menolak hadis dan buku-buku sejarah juga bisa dikatakan menolak hadirnya gambaran utuh pribadi Nabi Muhammad.

Tampilnya Nabi Muhammad sebagai wakil [penjelmaan] al-Qur’an bukan terjadi dengan sendirinya, tetapi melalui proses ta’dib [pendidikan] yang berjalin berkelindan dengan proses penurunan al-Qur’an alias nuzulul-Qur’an. Inilah yang diungkapkan Nabi dengan kata-kata: Addabani rabbi fa-ashana ta’dibi. Tentu saja ini bukan semata-mata sebuah pesan wanti-wanti, minta perhatian sungguh-sungguh, bahwa proses pendidikan yang pernah ditempuhnya itu harus diulang, direkonstruksi oleh siapapun yang ingin meneladaninya.

Itu bukan berarti bahwa kita harus mengulang sejarahnya masuk Goa Hira untuk menyepi di sana. Wahyu pertama memang diterima Nabi di sana. Tapi selanjutnya tidak ada lagi cerita bahwa Nabi menerima wahyu di Goa Hira. Ini membuktikan bahwa bersunyi-sunyi di Goa bukanlah bagian dari keteladanan Nabi, karena ia sendiri dulu hanya mengikuti kebiasaan sebagian masyarakatnya.

Yang harus direkontruksi [dibangun ulang] adalah prosedur dan proses penerimaan [studi] dan penyebaran [tabligh] wahyu yang dilakukan secara bertahap, taktis, dan dengan pencapaian target yang jelas, yaitu terbentuknya kesadaran al-Qur’an.

Kesadaran Qur’ani terbentuk karena merasuknya spirit [real meaning, makna hakiki] al-Qur’an ke dalam diri seseorang. Kesadaran al-Qur’an ini tidak akan terbentuk sempurna dengan hanya mengambil spirit al-Qur’an melalui pihak ke dua, misalnya melalui tafsir berbagai bahasa, atau melalui para guru agama. Kesadaran al-qur’an hanya akan terbentuk sempurna bila orang yang bersangkutan bergaul secara langsung dengan al-Qur’an, dan terus menerus bergaul dengan al-Qur’an, terus menerus melakukan kegiatan belajar mengajar al-Qur’an. Karena itulah Nabi menegaskan : Khairukum man ta’alamal-qur’an wa ‘allamahu [yang terbaik di antara kalian adalah yang mempelajari al-Qur’an dan mengajarkannya]. Pada tahap awal, seperti sudah disinggung di depan, yang menempati posisi demikian itu adalah Nabi sendiri. Selanjutnya diikuti oleh para sahabatnya, yang mengikuti segala ajaran Nabi dengan penuh semangat dan disiplin.

Pergaulan dengan al-qur’an tidak akan berlangsung baik bila kita tidak memahami bahasanya. Proses belajar-mengajar al-Qur’an akan timpang tanpa yang bersangkutan memahami bahasanya. Karena itu mempelajari bahasa al-Qur’an adalah tuntutan logis bagi siapapun yang ingin menjalin pergaulan akrab dengan al-Qur’an, demi membentuk kesadaran Qur’ani. Mengabaikan bahasa al-Qur’an adalah suatu kesalahan fatal. Suatu sikap yang tidak logis.

Hal pokok yang harus diperhatikan oleh para da’i dari dakwah Nabi adalah berlakunya transfer wahyu. Setiap ayat yang diterima Nabi langsung disampaikan kepada para pengikutnya. Mereka diharuskan menghafal ayat demi ayat serta memahami maknanya. Gairah yang besar membuat mereka melakukan kewajiban ini secara berlomba-lomba. Ini sangat bertolak belakang dengan cara dakwah para da’I periode berikutnya, terutama setelah umat islam melakukan ekspansi besar-besaran, yang lebih mengutamakan promosi inti ajaran Isalam. Promosi itu sering kali, sesuai tuntutan kebutuhan pragmatis, dilakukan dengan menggunakan bahaa non-Arab. Sepintas kilas, cara ini memang nampak efektif. Terutama karena pada kenyataanya bangsa-bangsa non-Arab tentu lebih bisa memahami keterangan-keterangan yang mereka terima melalui bahasa ibu mereka sendiri. Memperkenal Islam dengan berbagai bahasa memang tidak bisa dihindarkan. Namun harus disadari bahwa kedudukan bahasa Qur’an dalam [dakwah] Islam adalah strategis dan procedural. Di satu sisi, bahasa al-Qur’an sangat menentukan dalam kaitan dengan pelestarian teks al-Qur’an itu sendiri. Di sisi lain, hanya dengan memahami bahsa aslinya orang dapat meresapkan nilai-nilai sebenarnya dari wahyu Allah itu, dalam aarti dapat dapat membuat segala potensi emosi dan rasionya terlibat secara langsung. Ini amat menentukan dalam pembentukan kepribadian Qur’ani. Dengan demikian, promosi nilai-nilai Islam melalui bahasa lain hanya bersifat taktis dan sementara, yang di dalamnya harus terkandung rangsangan dan dorongan yang akhirnya membuat orang sadar bahwa mereka membutuhkan bahasa aslinya, bila mereka ingin menjadi mukmin yang tangguh.

Jadi, tahap awal, yang procedural, dari usaha rekonstruksi sejarah Nabi, demi meneladani akhlaknya, adalah mempelajari bahasa Qur’an. Bila hal ini disadari oleh umat Islam, dampaknya akan sangat luar biasa. Satu segi, pengaruh bahasa Qur’an dalam masyarakat akan meluas. Dengan demikian gengsinyapun akan meningkat sehingga mendapai kedudukan terhormat di dunia. Bila bahasanya sudah dihormati orang, maka akan otomatis kandungan budayanya [spiritnya] juga akan dihormati. Apalagi bila spirit al-Qur’an sudah menjelma dalam wujud pribadi-pribadi muslim yang secara ilmu dan akhlak memang terpuji.

Tentang disiplin studi al-Qur’an kita dapati gambarannya antara lain dalam surat al-Muzzammil. Sedangkan disiplin dan problematika dakwah, bisa kita kaji dalam banyak surat yang memuat sejarah para rasul. Melalui sejarah para rasul ini juga kita dapati kenyataan bahwa dakwah para rasul mulai dari Adam sampai Muhammad adalah jalinan mata rantai yang tidak boleh diputuskan. Jelasnya, penguraian sejarah para rasul terdahulu tentu mengandung maksud agar Nabi Muhammad dapat mengetahui problematika dakwah, sekaligus meneladani sikap-sikap positif mereka. Selanjutnya, bagi kita sekarang, gambarannya menjadi semakin lengkap karena ditambah dengan sejarah Nabi Muhammad sendiri. Tapi apalah arti kelengkapan informasi bila kita tak bisa mengambil intinya? Justru karena itulah, karena pentingnya mengambil inti inti informasi, setiap pengungkapan sejarah Nabi terdahulu dalam al-Qur’an, Allah selalu mengarahkan pengambilan kesimpulannya.

Jadi, rekonstruksi akhlak Nabi itu harus dimulai dari cara studi dan dakwah yang benar, berpola pada proses nuzulul-qur’an, yang berjalin berkelindan dengan sejarah Nabi Muhammad. Inilah metode pendidikan Allah untuk melahirkan khairu ummah [umat terbaik]. Pengabaian atas metode ini hanya akan menimbulkan ketidakmampuan membedakan gambaran akhlak Nabi dalam al-Qur’an dan akhlak Nabi yang kita bayangkan. Bisa jadi kita malah menganggap nyata sesuatu yang sebenarnya hanya khayalan.

Husein Kndm