Minggu, 17 Agustus 2008

Al-Qur'an Bukan Pedoman untuk Orang Mati


Barangkali sebab paling nyata, mengapa kita tidak mampu menjadi penyanjung dan pendukung kehidupan indah (hasanah) sebagaimana digambarkan al-Qur’an dan telah diperagakan dengan paripurna oleh Rasulullah saw., adalah akibat “keterbatasan” kita dalam memahami al-Qur’an itu sendiri. Sehingga dalam realitas hidup sehari-hari al-Qur’an seakan-akan menjadi tidak fungsional lagi (berdaya guna) sesuai fungsi diturunkannya sebagai pedoman hidup bagi manusia (hudan li an-naas). Bahkan yang sering kita jumpai justru sebaliknya, al-Qur’an telah menjadi “pedoman hidup” sesudah mati [di akhirat], buktinya apabila ada orang Islam meninggal dunia pasti dibacakan [itu pun melalui tape recorder] ayat-ayat al-Qur’an. Atau dibacakan ketika ada orang menjelang mati (menghadapi sakarat al-maut).

Demikian pula [muskhaf] al-Qur’an telah menjadi atau kita jadikan sebagai “benda suci” [keramat] yang harus disimpan di tempat suci [pantas] dan dibaca (disentuh) oleh orang-orang suci [agamawan] pada waktu dan peristiwa suci [khusus] pula. Itu pun seringkali hanya dibaca-baca [bagaikan mantra] tanpa harus mengerti maknanya. Dengan demikian, membaca al-Quran bukan menjadi bagian integral hidup, tetapi sekadar merupakan item tambahan dari sejumlah kegiatan hidup setiap muslim. Jadi lebih bersifat artifisial dan seremonial demi kepantasan dan kelaziman.

Maka tidak mustahil jika al-Qur’an pada akhirnya hanya berfungsi semacam mantra yang bisa digunakan untuk mengaduk-aduk [mendinginkan, menyejukkan atau menghangatkan] suasana dan perasaan kita, itupun hanya bersifat temporer untuk sementara waktu saja. Oleh karena itulah maka al-Qur’an sampai detik ini tidak pernah lagi mampu menjadi ruh pembangkit budaya dalam rangka membangun sebuah peradaban yang gemilang dan sekaligus menjadi cerminan kehidupan jannah di akhirat kelak.

Satu hal yang hampir-hampir hilang dari kesadaran kita, adalah bahwa al-Qur’an merupakan petunjuk [dasar atau landasan teori] dalam memandang dan menjalani realitas hidup di dunia ini hingga sampai kepada kehidupan di akhirat kelak. Dan al-Qur’an yang diturunkan Allah melalui rasul-Nya kurang lebih satu setengah milenium yang lalu, telah secara obyektif [ilmiah] dibuktikan kebenarannya oleh Nabi Muhammad saw. beserta para pendukungnya paling tidak dalam 23 tahun masa kenabian ditambah 40 tahun masa khilafah rasyidah.

“Kesalahan” kita selama ini barangkali karena ternyata kita telah mengkaji al-Qur’an tidak menurut [berdasar] keterangan atau informasi [ilmu] yang diajukan oleh al-Qur’an itu sendiri, seperti halnya yang telah dilakukan oleh Rasulullah. Biasanya yang kita lakukan adalah sekadar mengaji [bukan meng-kaji] dengan orientasi mencari pahala dan menebus dosa. Sehingga yang kita lakukan dalam menanggapi al-Qur’an adalah menurut sudut pandang [metodologi] subyektifisme kita sendiri (Q.S. al-Jatsiyah: 23). Padahal, berbeda halnya dengan pendekatan (approach) yang biasa kita lakukan terhadap kitab-kitab ilmu [pengetahuan] yang lain, al-Qur’an disamping merupakan informasi [ilmu] juga mengajukan teori ilmu-nya sendiri. Sehingga siapa pun yang mau mengkaji dan memahaminya secara benar, harus menurut [berdasar] sudut pandang al-Qur’an itu sendiri. Dengan kata lain, dalam kerja fungsionalnya al-Qur’an yang kita kaji tersebut berkedudukan sebagai subyek yang menentukan (walqur’anu imami) pandangan kita tatkala melakukan kajian atau studi. Dan kedudukan kita yang mengkaji adalah kedudukan “antara” [diantara subyek dan obyek], yakni merupakan wakil subyek (khalifah). Namun dalam kedudukannya sebagai makhluk organis-biologis, kita adalah obyek studi [obyek kajian], seperti halnya makhluk-makhluk lain yang ada di alam semesta.

Bila digambarkan secara sederhana, maka bentuk (struktur) pandangan manusia sebagai wakil subyek adalah seperti sketsa berikut ini (lihat gambar 1).
Sudut A adalah Allah, Tuhan Yang Maha Pencipta, Pemilik, Penguasa, Penentu dan Pemasti alam semesta beserta segala ujud kehidupan di dalamnya.
Sudut B adalah rancangan kepastian dari Allah (qadar) yang telah diturunkan kepada manusia berupa Kitab-kitab Suci [termasuk al-Qur’an], yang berbicara tentang semesta kenyataan alam dan kehidupan yang tergantung kepada Allah.
Sudut C adalah alam semesta seisinya yang merupakan bukti kenyataan (qadla) dari rancangan kepastian Allah.

Demikianlah bangun (struktur) pandangan al-Qur’an dalam menatap persoalan hidup, baik organis, biologis maupun budaya yang kesemuanya merupakan rancangan kepastian dari Allah yang bukti kenyataannya pun tergantung kepada Allah. Dari sinilah maka dapat dipahami bila yang namanya “takdir” itu memang tidak pernah dan tidak dapat diubah, dan al-Qur’an adalah “suratan takdir” yang abadi, yang merupakan turunan [semacam fotokopi] dari lauh al mahfudl. (Lihat Surat as-Syams; al-Buruj: 20-22; Yunus: 5 dll.)

Bangun segitiga sama sisi ABC sebagai bentuk pandangan yang diajarkan Allah melalui al-Qur’an, sebenarnya memiliki tiga dimensi persoalan yang berimpit di sudut B dalam posisi sama dan sebangun.
Pertama, sudut B-1 adalah al-Quran sebagai kalam ilahi yang masih bersifat teoritis. Yaitu landasan teori yang membicarakan hal ihwal kenyataan hidup serta apa yang seharusnya (das sollen) dilakukan untuk meraih hidup yang hasanah.
Kedua, sudut B adalah posisi Rasulullah sebagai bentuk contoh [pola, model] kehidupan indah (uswah hasanah). Dan ini merupakan bukti kenyataan empiris (das sein) yang tidak bisa dihapus dari catatan sejarah.
Ketiga, sudut B-2 sebagai kedudukan para mukmin yang telah mempunyai wawasan sudut pandang al-Qur’an (sudut B-1) serta mengikuti sunah rasul (sudut B) sebagai model atau pola [bentuk contoh] dalam merealisasikan seluruh pandangan dan sikap hidupnya tersebut.

Di alam semesta, apa yang diungkapkan dalam Surat Yunus ayat 5 bisa digambarkan sebagai berikut:

Maka bisa disimpulkan, bahwa kedudukan manusia seumumnya adalah dalam posisi sudut D. Yakni sudut kegelapan atau bahasa al-Qur’annya sudut Dzulumat. Untuk mendapatkan pencerahan di sudut Nur (sudut B-2), kita harus melakukan tindakan-tindakan berdasarkan apa yang telah diinformasikan oleh Allah melalui sudut B-1 seperti halnya yang telah dicontohkan oleh Rasulullah melalui sudut B. Misalnya untuk menjawab persoalan, “Bagaimana cara mengkaji al-Qur’an menurut al-Qur’an itu sendiri?” Maka biarkanlah al-Qur’an tersebut memberikan instruksi, teknik dan prosedurnya, dan kemudian kita tinggal mengikutinya. Jangan ketika al-Qur’an belum selesai memberikan instruksinya kita keburu interupsi. Maka yang terjadi adalah seperti yang selama ini kita lakukan, yakni seperti dongeng Sisipus yang mendorong batu ke puncak bukit, begitu sampai di atas akan menggelinding ke bawah lagi, kita dorong lagi, meluncur lagi … begitu seterusnya berulang-ulang. Ibarat dokter yang bisa menyembuhkan pasiennya, Tuhan sebenarnya telah membuat jadwal “Jam Bicara” yang sangat detail dalam Surat al-Muzzammil ayat 1 sampai 19. Maka yang harus kita lakukan sebenarnya sederhana saja. Jadilah pasien yang baik, janganlah jadi pasien yang sok tahu.

Selintas: Pasien Kurang Ajar

Bahkan ada pasien yang kurang ajar, karena justru dokternya yang disuruh oleh pasien tersebut. Hopo tumon?

Kamis, 14 Agustus 2008

SURGA

Sebagai manusia sudah menjadi hal yang wajar apabila kita mendambakan kebahagiaan. Baik yang bersifat pribadi, keluarga maupun masyarakat dalam arti seluas-luasnya. Dalam hal ini, agama senantiasa menawarkan Surga sebagai tempat kebahagiaan yang kekal. Bagi siapa yang taat dan patuh kepada agamanya, maka akan mendapatkan Surga sebagai imbalanya, apabila telah meninggal dunia.

Wacana perihal Surga yang demikian itu adalah suatu Surga yang Ghaib atau abstrak. Sehingga karena sifatnya yang abstrak itu, maka setiap agama menggambarkan Surga sesuai dengan kepercayaan [doktrinal] yang ditanamkan kepada masing-masing pemeluknya. Ada yang menggambarkan bahwa Surga itu suatu kehidupan yang abadi, dikelilingi para bidadari [yang selalu perawan], tempat bersemayamnya para dewa. Demikian pula ada yang menyebutnya sebagai tempat tinggal [tahta singgasana] Tuhan Sang Bapa. Pendek kata, Surga benar-benar merupakan tempat [impian] kebahagiaan yang di dalamnya hanya ada kenikmatan semata [sruwa-sruwi sarwo kepenak]

Bagaimana sesungguhnya makna dan persepsi Surga bagi orang-orang yang beriman? Surga dalam konsepsi al-Qur’an [Islam] disebut al-Jannah berarti taman yang tertata rapi nan indah. Surga yang akan menjadi milik orang yang dalam hidupnya selalu taat dan patuh dengan ajaran Allah ini, digambarkan bahwa di bawahnya senantiasa mengalir aneka sungai [min tahtihal-anhar]. Sehingga taman kebahagiaan tersebut merupakan taman yang subur dan menyejukkan. Siapapun yang tinggal di dalamnya tentu akan menuai kepuasan. Pohon-pohon yang ada di Surga adalah merupakan perwujudan dari kalimat thayibat, akarnya menghunjam ke dalam petala bumi dan cabang serta rantingnya menjulang ke angkasa raya [asluha tsabitun wa far ‘uha fi as-sama’].

Gambaran secara fisik tersebut, menurut teori sastra al-Qur’an, perlu dilihat arti metaforisnya [wajhu sabhin], agar dapat membantu kita dalam memahami makna Sorga [al-Jannah] yang sebenarnya. Apabila pohon-pohon yang ada di Surga tersebut menggambarkan masing-masing figur [sosok] orang beriman yang hidup di dalamnya, maka antara phon yang satu dengan yang lainnya akan saling merindangkan panen. Juga saling menghidangkan hasil karyanya satu sama lain. Pohon mangga akan memberikan bangganya, pohon rambutan akan menghadiahkan rambutannya, demikian pula pohon-pohon lainnya. Inilah gambaran kehidupan masyarakat Surga yang demikian indah, adil dan saling memakmurkan, gemah ripah loh-jinawi, tata titi tentrem kerta raharjo, murah kang sarwo tinuku lan thukul kang sarwa tinandur [jawa]. Semua itu ditunjang oleh suatu sistem ekonomi yang senantiasa dapat memenuhi seluruh hajat hidup orang banyak dan terdistribusinya dengan lancar seperti halnya aliran aneka sungai yang selalu mengalir di bawah Surga.

Kalau kita perhatikan lebih cermat, maka ternyata Surga yang dijanjikan Allah tersebut berujud ganda. Yakni selain Surga yang ada di akhirat kelak juga ada Surga di dunia inil. Hal tersebut tergambar jelas dalam do’a sapu jagad yang sering kita panjatkan. Rabbana aatina fid-dunya hasanah wa fil akhirati hasanah wa qiina ‘adzaban naar. Surga dunia [fidunya hasanah] adalah dunia yang baik dan indah yakni Madinatul-Munawwarah. Suatu “negara kota” yang gilang gemilang karenada dilandasi oleh cahaya al-Qur’an-Sunnah-Rasul. Adapun Surga akhirat [fil-akhirati hasanah], adalah Surga yang dijanjikan Alla apabila si Mukmin telah meninggal dunia, sebagai balasan atas segala amal ibadahnya. Jadi Surga akhirat adalah merupakan konsekuensi logis dari Surga dunia, karena dunia adalah cerminan akhirat [Ad-dunya mir’atul akhirah].

Bukti lain yang menunjukkan bahwa selain di akhirat Surga juga ada di dunia ini, antara lain adalah sabda Rasulullah saw ... “rumahku adalah Surgaku” [baiti jannati], demikian pula “Surga itu berada di bawah telapak kaki ibu”[al-Jannatu tahta aqdamil-umahat.. Bukankah rumah tangga Rasulullah itu berada di dunia kita ini juga? Begitu pula jejak langkah kaum ibu di dunia ini sangat menentukan kebahagiaan sebuah kehidupan. Hal ini terutama ditegaskan oleh Rasulullah saw .. bahwa wanita itu tuang negara [an-nisaa’u ‘imaadul bilad].

Surga dunia sebagaimana tercermin dalam Madinatul Munawwarah telah dicapai oleh Rasulullah saw. Dan para sahabatnya melalui “jalan yang lurus” [Shirathalmustaqim]. Yaitu suatu sistem jalan kehidupan Islam secara total [kaffah] yang diraih dengan cara merevolusikan masyarakat dari kegelapan jahiliyah [dzulumat] menuju pencerahan ilmiyah [an-Nur], [Q.S. al-Baqarah: 257]. Surga yang seperti digambarkan tersebut bukan Surga yang jatuh begitu saja dari langit, akan tetapi suatu Surga yang harus diraih melalui perjuangan fisik [jihad], perjuangan mental [mujahadah] maupun perjuangan intelektual [ijtihad].

Dengan melalui kegiatan dakwah yang giat [intensif], mangkus [efektif] dan sangkil [efisien], Rasulullah saw. Telah berhasil membangun “Surga” di dunia. Sebuah revolusi kebudayaan paling cepat dalam sejarah. Hanya dalam tempo kurang dari seperempat abad [23 tahun], padang pasir gersang dan gunung-gunung batu yang keras lagi tandus telah berubah menjadi Surga. Yakni membebaskan manusia dari peradaban yang gelap gulita [dark ages] menuju peradaban yang terang benderang [enlightenment] disinari oleh cahaya ilahi [al-Qur’an] melalui tauladan hidup Rasulullah.

Untuk mencapai kondisi tersebut, berapakah harga yang harus dibayarkan? Yang pasti, harga sebuah Surga tidaklah murah. Menurut Allah bagi setiap mukmin [para pendukung cita-cita surgawi] haruslah mau menyerahkan diri dan hartanya sekaligus [anfusahum wa amwalahum] untuk ditukar dengan al-Jannah. Dan proses transaksinya harus diperjuangkan mati-matian sehingga setiap mukmin harus senantiasa siap tempur [ready use to combat] dalam rangka meraih dan mempertahankan Surga [yuqaatiluuna fi sabilillah fayaqtuluuna wayuqtaluun]. Harga inilah yang diminta Allah sebagaimana tersirat di dalam semua kitab suci, baik at-Taurat, al-Injil, maupun al-Qur’an. [Q.S. at-Taubah:111].

Apa makna dari semua itu? Dengan dibayarkannya “diri” dan “harta” mukmin kepada Allah, maka berarti simukmin tersebut telah menyerahkan “ego”, ke-aku-annya dan hartanya menjadi milik Allah. Sehingga dengan demikian, setiap mukmin menyerahkan seluruh hidupnya untuk dikelola oleh Allah. Dengan kata lain, setiap orang yang menyatakan dirinya mukmin sudah semestinya mau dan rela sepenuh hati untuk hidup hanya menurut kehendak Allah. Mukmin yang demikian itulah mukmin yang haq, mukmin yang menjadi pohon-pohon Surga, yang dari benih iman-nya telah tumbuh menjadi pohon yang kokoh kuat, akarnya menghunjam ke dalam petala bumi dan cabang serta rantingnya menjulang ke angkasa raya serta berbuah di sepanjang musim [Q.S. Ibrahim:24].

Pohon tersebut selalu menghidangkan panen zakat, infaq, dan sadaqah bati kemakmuran dan keadilan kehidupan. Aroma buahnya menciptakan ketenteraman dan kebahagiaan hidup tiada tara. Demikianlah Surga yang menjadi dambaan setiap insan. Sebuah model kehidupan, yang selain membahagiakan sekaligus juga menyehatkan. Ibarat manisnya madu yang selain lezat nikmat juga menyehatkan [Q.S. an-Nahl: 68, 69]. Itulah yang terjadi hampir hampir satu setengah milinium yang lampau di dalam masyarakat Madinatul Munawwarah, “negara kota” yang bermandikan cahaya Ilahi dengan tauladan indah para Nabi, yang kelak nantinya merupakan panen di akhirat [ad-dunya mazra’atul akhirah]. Singkatnya, suatu masyarakat dimana telinga kita belum pernah mendengar, mata belum pernah melihat, hati belum pernah merasai, Masyarakat mukmin yang seperti itulah, masyarakat di mana pandangan dan sikap hidupnya berdasar kalimat thayyibat, [al-Qur’an –Sunnah-Rasul], yang akan memperoleh Surga yang dijanjikan.

Selasa, 12 Agustus 2008

Al-Qur'an dan Realitas Umat

Jika kita mau jujur, sebenarnya sudah lama Alquran tidak lagi berfungsi sebagai petunjuk untuk urusan-urusan besar umat Islam, seperti urusan kenegaraan, ekonomi, hubungan internasional, dan lain-lain. Bahwa Alquran masih diimani sebagai Kitab Suci yang tahan bantingan sejarah, adalah pula sebuah fakta, setidaknya secara formal. Tetapi, bahwa kitab ini sudah diabaikan sebagai acuan dalam memecahkan masalah penting umat Islam juga adalah fakta yang lain pula.
Terlihat di sini jurang yang lebar sekali antara akuan dan laku. Umat Islam pada tataran global sama-sama terkurung dalam jurang itu sambil menyalahkan satu sama lain. Masing-masing merasa yang paling benar, sementara saudaranya yang lain palsu belaka, jika perlu dihancurkan. Parameter yang digunakan untuk saling menghancurkan itu sungguh sangat rapuh, tetapi diaku sebagai yang benar.
Gejala yang semakin kentara di awal abad ke-21 ini adalah polarisasi antara kelompok puritan dan moderat, untuk meminjam kategorisasi Khaled Abou El Fadl. Masing-masing merasa berada di jalan lurus. Kaum puritan tampak mengkristal dalam format Taliban dan sampai batas tertentu di kalangan orang Arab Saudi. Mereka ini ingin menciptakan sebuah dunia seperti masa dini Islam, sebagaimana yang dibayangkan. Mereka anti semua sistem Barat tetapi menikmati hasil teknologinya, seperti mobil dan telepon, bahkan teknik membuat bom. Mereka menilai demokrasi dan hak-hak asasi manusia sebagai produk Barat yang harus dilawan karena merusak Islam. Mereka ingin menciptakan sebuah dunia cita-cita berdasarkan tafsiran mereka yang monolitik terhadap Alquran dan sejarah nabi. Kelompok ini juga tersebar di berbagai bagian dunia Islam yang umumnya berideologi radikal tunggal: ingin mengubah dunia secara berani dan cepat, sekalipun berisiko pertumpahan darah. Mereka tidak peduli. Sebenarnya kelompok puritan ini tidak punya tawaran peradaban yang jelas, tetapi relatif terikat ideologi tunggal yang fasistis. Di antara doktrin yang mengikat mereka adalah konsep taat kepada pemimpin, hampir tanpa reserve. Karena itu, ada yang menafsirkan bahwa mereka adalah faksi totalitarian dengan payung syariat. Mereka memandang enteng kematian, jika mati itu adalah dalam upaya mencari ridha Allah menurut visi mereka. Di sisi lain, kelompok moderat juga mengaku berpegang kepada Alquran, tetapi umumnya mereka membela gagasan demokrasi dan hak-hak asasi manusia. Mereka tidak risau apakah gagasan itu berasal dari Barat atau Timur. Selama gagasan itu mendukung cita-cita Alquran untuk membumikan keadilan, perdamaian, moralitas, dan hubungan yang elok sesama umat manusia, mengapa harus ditolak.
Mereka merasakan keperihan saat menonton dunia Islam yang gelap di bawah sistem politik despotisme yang zalim dan korup tetapi sering diberi legitimasi agama. Didorong oleh keprihatinan ini, mereka tidak segan berpendapat bahwa pemerintahan non-Muslim yang adil lebih baik dari pemerintahan Muslim yang zalim dan korup. Mereka sangat kritikal dengan label yang serba Islam, tetapi dalam realitas bertolak belakang dengan pesan universal Islam yang membela keadilan dan suasana hidup rukun sesama umat manusia. Dibandingkan dengan kelompok puritan yang relatif solid, kelompok moderat tidak terikat dengan ideologi tunggal. Islam bagi mereka tetap menjadi peradaban alternatif masa depan, tetapi yang harus dipahami secara cerdas, jujur, komprehensif, dan historis. Mereka sangat kritikal terhadap Barat, tetapi tidak menolak unsur-unsur peradaban lain yang positif melalui filter agama.
Itulah gambaran kasar polarisasi umat Islam masa kini dengan mengabaikan varian-varian kecil yang banyak sekali. Kalau demikian, di mana posisi Alquran? Mari kita sama-sama berpikir keras untuk mencari jalan yang solutif sehingga Alquran dapat berfungsi kembali sebagai petunjuk tertinggi dalam memecahkan masalah fundamental dan kemelut kemanusiaan yang tak pernah usai. Alquran sebenarnya juga berfungsi al-furqan (kriterium pembeda antara yang hak dengan yang batil), tetapi mengapa kita masih saja terpasung dalam polarisasi yang tajam sesama umat Islam? Mari kita belajar bersikap jujur dalam memahami Alquran, buang jauh-jauh subjektivisme sejarah dan kepentingan pribadi. Menurut Alquran risalah kenabian adalah sebagai rahmat bagi alam semesta, bukan hanya untuk umat Islam. Realitas terkini adalah: umat Islam secara keseluruhan tidak berdaya, banyak energi terbuang secara sia-sia, sehingga sering menjadi bulan-bulanan pihak lain karena memang busuk dari dalam. Akhirnya, mohon dibaca fakta keras ini dengan seksama: baik yang puritan maupun yang moderat keduanya masih terkapar di buritan peradaban jika dilihat dalam perspektif cita-cita "rahmat bagi seluruh makhluk." Namun, kita tidak boleh patah harapan karena seluruh semangat Alquran mengajarkan optimisme menghadapi masa depan, asal kita mau berkaca diri.

Ahmad Syafii Maarif
Republika, 27 November 2007

Reformulasi Pendidikan Agama

Disampaikan pada Konvesi Nasional Pendidikan Indonesia (KONASPI) IV tanggal 19 – 22 September 2000 di Hotel Indonesia Jakarta.


1. Muqqadimah

Jika dicermati secara kritis, kata demi kata, kalimat demi kalimat dan alinea demi alinea yang terdapat pada Pembukaan UUD-45, bangsa Indonesia sangat menjunjung tinggi nilai-nilai keagamaan, bahkan spirit keagamaanlah yang mendorong bangsa Indonesia berjuang, sampai akhirnya menyatakan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945. Berdasarkan itu secara yuridis tepatlah jika dikatakan bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara agama yang berdasarkan Pancasila, atau paling tidak disebut negara Pancasila yang dijiwai agama [perhatikan dan cermati Pembukaan UUD-45, dan kaitkan terutama alinea ke-3 dan ke-4.]
Konsekuensi logisnya, dalam kaitannya dengan kepentingan Nasional cukup beralasan jika pendidikan agama, mendapat tempat yang penting dalam kurikulum pendidikan nasional, sehingga wajib diikuti oleh seluruh peserta didik, dari jenjang pendidikan yang paling rendah sampai perguruan tinggi. (Lihat; GBHN: 78;83;88;93;98;99, bab Agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa).
Atas pertimbangan itu tujuan pendidikan Agama tentunya menumbuh kembangkan nilai-nilai keagamaan sebagai landasan berpijak bangsa, dan menjadikannya pembangkit semangat dalam mempertahankan eksistensi kemerdekaan Indonesia dan mengisinya, sehingga tujuan nasional dapat tercapai. Mengingat telah terjadinya degradasi kewibawaan pendidikan Agama terutama di lembaga-lembaga pendidikan formal, maka dalam konteks pencapaian tujuan tersebut diperlukan reformasi melalui telaah kritis, baik yang menyangkut konsep dasar, tujuan dan materi; proses pembelajaran, dan evaluasi pendidikan Agama.

2. Konsep dasar, tujuan, dan materi

Pemahaman tentang eksistensi alam dan manusia merupakan pangkal tolak dalam memahami wawasan tentang konsep dasar dan tujuan dalam pendidikan. Falsafah tentang alam dan manusia didalam Islam didasarkan atas ketuhanan yang fungsional, dalam arti bahwa, Allah adalah Tuhan, disamping sebagai Kholiq, ia berperan sebagai Rabb yaitu pengatur alam. Keberadaan alam merupakan eksistensi dari fitrah yaitu kepastian Allah berdasarkan hukum-hukum-Nya. Hukum Allah tentang al-kaun, yaitu makhluk selain manusia, terdapat di alam yang menghampar luas yang disebut jagad raya. Tak ada makhluk di jagad raya yang tidak menurut hukum kepastian Allah. Peredaran matahari pada mustaqarnya, begitu pula planet-planet lain seperti bumi, bulan dan bintang, semuanya beredar pada falaq yang telah ditetapkan oleh Allah penciptanya, sehingga antara satu dengan lainnya tidak saling berbenturan.
Manusia adalah makhluk unik dan serba mungkin. Keunikan manusia karena Allah menjadikannya sebagai khalifah, yaitu makhluk yang diberikan kewenangan memilih acauan yang diajukan kepadanya. Atas pilihan manusialah Allah menentukan keputusann-Nya. Nasib mujur atau nasib sial, merupakan konsekuensi dari pilihan masing-masing. Atas dasar itu doktrin jabariyah yang mengatakan bahwa Allah berkuasa mutlak terhadap manusia, dalam arti nasib manusia tergantung kepada Allah, tidak sesuai dengan konsep manusia sebagai khalifat.
Berdasar fitrahnya, manusia itu ibarat lahan kosong yang potensial. Potensi dasar yang dibawa sejak lahir adalah sarana pengetahuan berupa pendengaran, penglihatan, perasaan dan alat-alat indra lainnya. Dengan fitrah yang dibawa sejak lahir itu, manuia berpotensi untuk menerima berbagai pengaruh. Pengaruh itulah yang disebut pengetahuan, dan akan membentuk kesadaran manusia.
Akal mempunyai peranan penting untuk memberikan ciri khas kemanusiaan sehingga berbeda dengan makhluk-makhluk lainnya. Dengan akalnya manusia mampu mengembangkan potensi yang ada pada dirinya, baik potensi alamiah maupun potensi ilmiah, sehingga menjadi berpengetahuan. Namun keberadaan akal tergantung pada faktor lain.
Pengetahuan manusia yang hanya berdasarkan pada pengamatan indrawi yang bersudut pandang empiris, akan melahirkan kesadaran dalam hidupnya dipertuhan oleh kebendaan. Sebaliknya pengetahuan manusia yang hanya dilandasi pengamatan batin yang bersudut pandangan intuitif akan melahirkan manusia yang mendambakan hidup bahagia dalam khayalan. Untuk memberikan arahan kepada manusia dalam menentukan pilihannya, Allah memberikan pedoman yaitu wahyu yaitu ilmu atau ajaran yang disampaikan melalui para rasul.
Al-Qur’an adalah wahyu yang disampaikan melalui Rasulullah Muhammad, merupakan landasan konsepsional bagi manusia dalam beradaptasi dengan lingkungannya baik lingkungan manusia maupun lingkungan alam. Harapan dan kehendak Allah terhadap manusia dikemukakan didalam wahyu-Nya itu. Sebab itu mengikuti kehendak Allah pada hakekatnya adalah mengikuti hukum-hukum dan tata atruan yang terdapat di dalam al-Qur’an. Bertuhan Allah berarti memerankan al-Qur’an dalam kehidupan. Konsep dasar inilah yang membedakan antara konsep Islam dengan konsep deisme (faham monoteis transendental). Berdasarkan konsep dasar tersebut, pendidikan dalam Islam, pada hakekatnya adalah upaya untuk menumbuh-kembangkan atau merancang bangun kepribadian wahyiah, yaitu kepribadian yang berstruktur pada sudut pandang bahwa; Allah adalah Tuhan, al-Qur’an sebagai pedoman hidup, dan sunnah Rasul sebagai uswah. Kepribadian yang demikian itu, dalam al-Qur’an diistilahkan dengan iman dalam arti pandangan dan sikap hidup atau perilaku ilmiah, bukan perilaku alamiah atau batiniah. Manusia yang berkepribadian Qur’ani adalah insan yang dalam hidupnya memerankan al-Qur’an dengan pola sunnah rasul. Dengan demikian konsep dasar tentang pendidikan dalam islam adalah fungsionalisasi nilai-nilai Ilahiyah dalam kehidupan manusia. Adapun tujuannya adalah terbinanya manusia yang berkesadaran hidup menurut Allah, sehingga sikap dan perilaku dalam hidupnya di alam berpedoman dengan ajaran-Nya, yakni al-Qur’an sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah.
Sebagaimana telah diutarakan di muka bahwa al-Qur’an adalah wahyu dalam arti ajaran Allah yang disampaikan kepada manusia melalui nabi Muhammad guna dijadikan pedoman, dalam menata hidupnya di alam. Dengan demikian materi pendidikan mengacu kepada prinsip bahwa al-Qur’an sebagai pedoman hidup bagi manusia, dalam menata diri dan lingkungannya. Sebagai suatu pedoman al-Qur’an akan berperan jika orang memahaminya. Atas dasar itu materi pendidikan yang tidak dapat ditawar-tawar adalah pengenalan, pemahaman dan penerapan isi dan kandungan al-Qur’an.

3. Proses dan Tahapan

Kepribadian seseorang dipengaruhi oleh berbagai faktor. Faktor alamiah yang dibawa sejak lahir seperti kondisi fisik, dan kejiwaan berpengaruh terhadap kepribadiannya. Faktor pengaruh yang diterima sejak ia lahir hingga dewasa dan tua, baik pengaruh alamiah seperti kondisi cuaca, maupun pengaruh sosial budaya, yang diterima secara langsung maupun tidak langsung, sengaja maupun tidak sengaja, akan berpengaruh pula terhadap perkembangan kepribadiannya. Berbagai faktor yang berperan dalam menentukan kepribadian, termasuk kajian dari proses pendidikan. Secara kronologis, pada uraian berikut ini akan dikemukakan proses pendidikan pada tahap persiapan, yaitu sebelum seseorang lahir, proses pertumbuhan dan perkembangan, dan proses renovasi atau bongkar pasang.
a. Tahap Persiapan.
Kondisi fisik seseorang seperti bentuk tubuh paras atau tampan, warna kulit, dan lain-lain, akan berpengaruh terhadap kepribadian. Seseorang yang bertubuh kekar, kepribadiannya akan berbeda dengan orang yang bertubuh kecil dan pendek. Begitu pula seseorang wanita atau pria yang berparas cantik atau tampan, kepribadiannya akan berbeda dengan wanita atau pria yang tidak cantik atau tidak tampan.
Kondisi fisik seseorang, ada yang diperoleh secara alamiah yaitu dari pembawaan, ada pula yang diperoleh dari rekayasa. Secara genetik seseorang yang kedua orang tuanya bertubuh tinggi, kemungkinan anak-anaknya akan bertubuh tinggi pula. Sebaliknya jika kedua orangtuanya bertubuh pendek dan kecil, maka kemungkinan anak yang menjadi keturunannya akan bertubuh pendek dan kecil pula. Begitu pula halnya dengan faktor fisik yang lain. Jika kondisi fisik seseorang berpengaruh terhadap kepribadiaannya, maka perencanaan keluarga, merupukan proses awal dalam merancang bangun kepribadian generasi mendatang.
Dalam kaitannya dengan proses reproduksi manusia di dalam al-Qur'an diungkapkan bahwa reproduksi manusia berasal dari sal-sal. Di dalam bahasa biologi lazim disebut dengan sel yang terkandung pada mani atau nuftah. Pertemuan sel jantan dan sel betina pada qararin makin jika unsur-unsurnya terpenuhi, akan menjadi calon manusia baru yang secara bertahap membentuk alaqah, muzgah, dan seterusnya sehingga menjadi izam yang berbalut dengan lahm.
Pemenuhan unsur-unsur biologis baik sel jantan maupun sel betina, akan berpengaruh terhadap kondisi janin yang kelak akan lahir. Cacat yang dibawa sejak lahir besar kemungkinan akibat kurang terpenuhinya unsur-unsur genetik yang terkandung pada sel jantan atau sel betina. Kekurangan unsur-unsur genetik, di samping dipengaruhi faktor gizi yang terkandung dalam makanan atau minuman, juga dipengaruhi oleh faktor lainnya. Pembuahan unsur genetik pria dan wanita yang mempunyai hubungan darah masih relatif dekan, merupakan salah satu faktor yang akan berpengaruh negatif terhadap embrio yang kelak akan menjadi keturunannya. Karena itu Allah melarang pernikahan sesama muhrim.
Selama di dalam kandungan, kondisi janin tergantung kepada kondisi ibu yang mengandungnya. Darah yang mengalir di tubuh janin adalah darah ibunya. Jika ibu yang hamil mengidap penyakit diabetes, maka darah yang mengaliri tubuh janin mengandung kadar gula. Apabila penyakit diabetes termasuk golongan penyakit yang sulit disembuhkan, maka anak-anak yang lahir dari ibu yang mengidap penyakit tersebut akan menderita penyakit diabetes sepanjang hayat.
Kondisi psikologis ibu yang sedang mengandung berpengaruh pula terhadap janin yang dikandungnya. Seseorang ibu yang mendambakan keturunan, ia akan merasa bangga dengan kehamilannya dan akan merawat kehamilannya dengan sungguh-sungguh. Sebaliknya kehamilan yang tidak diharapkan, akan berakibat negatif terhadap kondisi janin yang kelak akan lahir. Seorang wanita yang melakukan hubungan gelap dengan seorang pria misalnya, jika dari hubungannya itu terjadi pembuahan, maka wanita tersebut secara psikologis akan merasa malu, kesal, dan perasaan-perasaan negatif lainnya. Karena perasaan-perasaan yang negatif tersebut, besar kemungkinan akan berakibat negatif terhadap janin yang dikandungnya.
Berdasarkan pertimbangan baik fisiologis maupun psikologis orangtua, dalam kaitannya dengan kepribadian anak yang akan lahir, tepatlah jika faktor kesehatan dijadikan bahan pertimbangan dalam perencanaan keluarga. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah kemungkinan lahirnya generasi yang tidak diharapkan.

b. Pertumbuhan dan perkembangan
Kondisi fisik yang dibawa seseorang sejah lahir, merupakan potensi dasar dari kepribadiannya. Dengan potensi dasar yang dibawanya sejah lahir, seseorang akan mampu beradaptasi dengan lingkungannya, baik lingkungan alamiah maupun lingkungan sosial budaya. Faktor makanan dan minuman yang diberikan kepada seseorang pada usia dini, suara yang diperdengarkan, rumah yang ditempati, pakaian yang dikenakan, dan lain-lain merupakan faktor yang akan memberikan warna terhadap kepribadian seseorang.
Situasi dan kondisi di lingkungan keluarga merupakan faktor yang pertama dan utama dalam pendidikan. Proses pendidikan pada masa anak usia dini, di dalam al-Qur'an dinyatakan dengan istilah Tarbiyah. Aktivitas tarbiyah meliputi pemenuhan kebutuhan secara fisik maupun psikis yang berlangsung di lingkungan keluarga. Sesuai dengan kodratnya, pada usia kanak-kanak, seseorang mencari identifikasi diri dengan alam sekitar. Atas dasar itu verbalisasi dan pemberian contoh merupakan metode yang tepat dalam tarbiyah. Melatih potensi tubuh baik ucapan maupun tangan, kaki, dan seluruh anggota merupakan pendekatan dalam tarbiyah. Menirukan ucapan, memperkenalkan nama-nama anggota tubuh dan benda-benda alam yang ada di sekitar seperti peralatan rumah tangga, alat-alat permainan, dan lain-lain merupakan materi dasar dalam tarbiyah.
Pada masa anak usia dini, anak-anak merasa puas dengan kemampuan menirukan suara atau menyebutkan nama-nama benda yang ada di sekitarnya. Pada tahap berikutnya apa yang telah dikuasai oleh seseorang akan difungsikan dalam kehidupannya. Sesuatu akan berfungsi apabila seseorang memahami tentang apa yang dikenalnya. Karena itu segala sesuatu yang telah ada pada diri seseorang yang diperolehnya melalui verbalisasi akan diseleksi. Sesuatu yang dipandang bermanfaat akan dilestarikan dan dikembangkan, sebaliknya yang dipandang kurang atau tidak bermanfaat akan, kemungkinan akan dibuangnya. Pengenalan lambang-lambang al-Qur'an yang tidak mengarah kepada pengertian kemungkinan besar akan ditinggalkan jika tidak ditingkatkan kearah pemahaman makna yang terkandung di dalamnya.
Proses pertumbuhan dan perkembangan, pada dasarnya merupakan proses pembentukan kepribadian atau proses pendewasaan yang dalam isitlah al-Qur'an disebut dengan tablig. Seseorang dikatakan telah balig apabila ia telah mencapai kematangan emosional, dalam arti memiliki kematangan dalam menanggapi stimulan dan mempunyai kemampuan atau ketrampilan dalam mengekspresikannya dalam kehidupan.

c. Renovasi
Setelah memasuki usia dewasa, berbagai informasi yang diterima akan diadaptasikan dengan tanggapan yang telah tertanam di dalam kesadarannya. Proses pendidikan pada orang dewasa, bertujuan untuk meningkatkan kualitas kepribadian yang telah tertanam. Jika kepribadian yang telah tumbuh dan berkembang dinilai positif. Namun jika kepribadian yang ada dinilai negatif maka aktivitas pendidikan bertujuan ganda yaitu tebang tanam atau bongkar pasang, yang didalam istilah al-Qur'an disebut dengan musaddiq atau renovasi kepribadian. Proses pendidikan agama di perguruan tinggi termasuk tahapan ini.
Para Rasul diutus untuk memperbaiki kepribadian ilahiyah yang telah rusak. Strategi pendidikan yang dilakukan oleh para Rasul merupakan strategi yang tepat dalam upaya merenovasi kepribadian guna terbentuknya kepribadian yang qur’ani. Proses pendidikan yang dilakukan oleh Rasulullah Muhammad, secara periodik dibagi menjadi dua tahap yaitu periode Makiah dan periode Madinah. Periode Makiah adalah periode yang dilakukan oleh Nabi semasa beliau memusatkan aktivitasnya di Makkah, dan periode Madinah adalah periode setelah Nabi dan para sahabatnya hijrah ke Madinah. Periode Makiah, dalam kaitannya dengan pendidikan masa kini adalah kondisi dan situasi kampus, sementara periode Madinah adalah periode penerapan, yaitu saat ketika para alumni telah berkiprah di masyarakat.

4. Evaluasi
Penyakit formalitas akademis telah berjangkit di kalangan masyarakat. Kualitas kemampuan seseorang dilihat dari ijazah formal yang dimilikinya. Nilai hasil studi yang dilaporkan oleh pengajar, merupakan bukti kemampuan seseorang peserta didik. Tradisi belajar dalam rangka mengejar nilai walaupun kurang terpuji namun berkembang di kalangan peserta didi. Karena itu penilaian dalam pendidikan merupakan pemicu kuat atau lemahnya minar peserta didi dalam mengikuti kegiatan belajar dan mengajar. Kesalahan dalam penilaian yang dilakukan oleh pengajar akan merusak citra mata pelajaran, disamping pengajar dan lembaga pengelolanya.
Pemberian nilai para pengajar pendidikan Agama kepada peserta didiknya, boleh dikatakan demikian mudah. Jarang kedengaran para peserta didik tidak lulus untuk bidang studi Pendidikan Agama. Bahkan nilai yang diperoleh para peserta didik umumnya semuanya tinggi, jika dibandingkan dengan nilai rata-rata pelajaran lain. Alasan para pendidik, pendidikan agama merupakan mata ajaran wajib. Jika ada peserta didik yang nilainya jelek atau tidak lulus, mereka akan gagal dalam studi. Akibatnya kualitas keagamaan siswa cukup memprihatinkan namun siswa tersebut karena terpaksa atau belas kasihan pendidik akhirnya diluluskan. Akibat penilaian yang tidak mendidik inilah para alumni lembaga pendidikan melecehkan guru bidang studi Pendidikan Agama, bahkan pendidikan Agama dan Agama besar kemungkinan dilecehkan pula. Dalam konteks formalisasi akademis pemerintah tidak memasukkan bidang studi Pendidikan Agama dalam Ebtanas merupakan salah satu faktor yang membuat wibawa pendidikan agama di mata para siswa kurang penting.

5. Kebijakan Pengelolaan.
Perbedaan persepsi tentang konsep ketuhanan menjadi penyebab manusia memeluk agama yang berbeda. Dalam perspektif bangsa Indonesia negara menjamin setiap warganegara untuk memeluk agama sesuai dengan keyakinan agamanya. Namun demikian perlu disadari bahwa walaupun dalam banyak hal ajaran antara agama yang satu dengan yang lain terdapat persamaan, namun dalam banyak hal pula terdapat perbedaan. Karena itu menyamakan semua agama tidak dibenarkan. Toleransi antar umat bergama perlu dijunjung tinggi. Atas dasar itu pemilahan dalam penanganan pendidikan agama sesuai dengan agama para peserta didik, sebagaimana yang selama ini berjalan perlu dipertahankan. Lembaga yang mengelola bidang pendidikan berkewajiban untuk melayani setiap pemeluk agama, untuk mengembangkan semangat keagamaannya.

6. Kesimpulan
Semangat keagamaan merupakan pendorong bangsa Indonesia menjadi bangsa yang merdeka dan berdaulat, karena itu nilai-nilai keagamaan dijunjung tinggi. Pendidikan Agama wajib diberikan dari tingkat sekolah dasar sampai tingkat perguruan tinggi.
Tujuan pendidikan dalam kerangka pendidikan nasional adalah untuk menumbuhkembangkan nilai-nilai keagamaan dalam upaya mempertahankan dan mengisi kemerdekaan. Konsep dasar pendidikan agama bertumpu pada sudut pandang bahwa Tuhan disamping sebagai pencipta juga berperan sebagai pengatur, karena itu menumbuhkembangkan peradaban ilahi merupakan tujuan kurikuler dalam pendidikan agama.
Manusia yang berkepribadian Qur’ani dalam perspektif islam adalah manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Allah. Manusia yang bertakwa kepada Allah adalah manusia yang cerdas, trampil, berpekerti luhur, memiliki semangat kebersamaan dan bertanggung jawab atas perilakunya. Untuk menumbuhkembangkan kepribadian Qur’ani materi pendidikan agama adalah pengenalan, pemahaman dan penerapan al-Qur'an dengan mencontoh sunnah rasul. Materi-materi lain diperlukan sebagai komplemen. Proses pendidikan berlangsung sejak seseorang memilih pasangan hidup, dalam kandungan, usia dini dan sampai meningkat tua, yang berlangsung di lingkungan keluarga, masyarakat dan sekolah yang saling mempengaruhi.
Evaluasi pendidikan agama di lembaga pendidikan formal mempunyai pengaruh dalam menumbuhkembangkan minat peserta didik mengikuti kegiatan keagamaan, karena itu ketidakadilan dalam menetapkan penilaian akan berdampak negatif baik bagi para pendidik maupun kewibawaan bidang studi pendidikan agama.
Kebijakan pemerintah mengelompokkan peserta pendidikan agama di lembaga pendidikan formal berdasarkan kriteria agama yang dianut para peserta didik relevan dengan asas kebebasan bangsa Indonesia dalam memeluk agama.
7. Saran-saran
Perlu dilakukan pembaruan dalam pendidikan agama, mengenai materi, metode, evaluasi pembelajaran agama yang relevan dengan konsep dasar dan tujuan baik, nasional maupun internasional. Materi utama yang perlu mendapat perhatian adalah menumbuhkembangkan kecintaan peserta didik terhadap kitab suci yang menjadi pegangan agamanya. untuk menumbuhkembangkan kecintaan terhadap kitab suci, para peserta didik harus dibiasakan membaca. Karena itu para siswa sekolah dasar yang beragama islam ditetapkan harus memiliki kemampuan baca tulis al-Qur'an secara verbal, untuk tingkat sekolah menengah mampu memahami al-Qur'an secara sederhana, untuk tingkat perguruan tinggi mampu menganalisis tentang kandungan al-Qur'an.
Lembaga pendidikan hendaklah melayani para peserta didik mengembangkan nilai-nilai keagamaan dengan nilai-nilai keagamaan yang dianutnya. Oleh sebab itu setiap peserta didik seharusnya diberikan mata pelajaran agama sesuai dengan agama masing-masing walaupun lembaga tersebut mempunyai misi agama yang berbeda.

Moh. Chudlori Umar
Disampaikan pada Konvesi Nasional Pendidikan Indonesia (KONASPI) IV tanggal 19 – 22 September 2000 di Hotel Indonesia Jakarta.

Jakarta, 19 September 2000

Menjadi Mukmin Tidak Cukup Hanya "Percaya"

Di dalam wacana umum yang kita kenal tentunya kita merasakan, bahwa tampaknya tak cukup mudah untuk membedakan makna hakiki antara istilah “Perang” atas Nama Tuhan dan Agama (mewakili pandangan dunia muslim) dengan “Perang, Teror, Ancaman, Propaganda” atas nama Kemanusiaan, HAM, Agama, dan Keadilan (mewakili pandangan dunia non-Muslim) seperti yang terjadi di beberapa bagian dunia dewasa ini. Secara lebih spesifik, bahwa para pelaku (dan pengambil kebijakan) perang di kedua belah pihak itu justru adalah mereka yang nota bene sama-sama menyatakan diri sebagai orang beriman.

Pandangan umum tentang perbedaan orang beriman (Mukmin) dan orang yang tidak beriman (biasanya disebut dengan Kafir), bahwa Mukmin adalah orang yang percaya akan adanya Tuhan. Sebaliknya orang Kafir adalah adalah mereka yang tidak percaya akan adanya Tuhan. Namun di dalam realitas sosial, secara obyektif kita nyaris tidak mudah pula menemukan perbedaan di antara orang-orang yang percaya dan tidak percaya akan adanya Tuhan. Terutama hal itu tampak jelas di dalam aspek perilaku sosial, budaya, ekonomi, dan politik. Orang akan sulit membedakannya kecuali dari aspek-aspek fisik yang tampaknya (semakin) cenderung lebih bersifat artifisial daripada esensial, sebagaimana dikemukakan di atas.

Keimanan merupakan sebuah kata atau istilah yang sudah demikian sangat lumrah diucapkan maupun didengar dalam kehidupan sehari-hari. Karena sudah sangat lumrahnya itulah barangkali yang menyebabkan hampir tidak ada lagi orang yang peduli dan mau memikirkan atau merenungkan (kembali) apa sebenarnya makna hakiki dari istilah “iman” tersebut. Sehingga tidak mustahil bahwa arti dari kata atau istilah “iman” itu sendiri mengalami perkembangan (sesuai dengan “kodrat” bahasa), pergeseran bahkan penyimpangan yang bisa jadi justru berlawanan dengan makna ketika awal mulanya kata atau istilah itu diciptakan (diucapkan, dimengerti). Sehingga tak pelak, kita mengalami semacam kebingungan atau kerancuan dalam memahami/ memaknai istilah “iman” (semantic confusion).

Namun apabila kita mau memikirkan dan merenungkan, niscaya kita akan mengetahui bahwa keimanan adalah perasaan (kepercayaan) hati yang terdalam dari diri seseorang. Jadi, ruang-lingkup iman yang telah disama-artikan dengan “percaya” tersebut, semata-mata adalah di dalam hati. Atau dengan kata lain, keimanan adalah urusan (yang letaknya di) hati sehingga hanya orang bersangkutan dan Tuhan-lah yang mengetahuinya. Seolah-olah iman “tidak berkaitan langsung” dengan ucapan maupun perilaku pribadi maupun sosial. Sehingga tidak mengherankan bila sampai terjadi peristiwa orang berantem atau bahkan berperang saling bunuh dan menghancurkan, sama-sama atas Nama Tuhan yang sama (religious violence), sebagaimana hal itu terjadi di dalam sejarah agama-agama besar dunia.

Kalau kita tinjau kembali pengertian “iman” sebagaimana yang diajukan dalam al-Qur’an dan diajarkan oleh Rasulullah Muhammad saw., maka “iman” adalah “Ikatan hati yang diikrarkan melalui lisan dan diamalkan melalui laku-perbuatan” (HR. Ibnu Majah) atau dengan redaksi yang lain, “Iman” didefinisikan sebagai “Melihat dengan hati … (dst. sama)” (HR. Thabrani) atau “Membenarkan dengan hati …… (dst. sama).” (HR. Buhkari-Muslim). Di dalam kamus kata iimaanan (sebagai kata benda, noun) dan mukminun (kata pelaku, subyek) antara lain memang bisa berarti watsiqa atau percaya (lih. Kamus al-Munjid, al-Munawwir). Sedang menurut Hadits di atas, pengertian atau definisi “iman” menjadi tidak hanya sekedar percaya saja, akan tetapi mencakup keyakinan hati atau dasar pendirian yang dinyatakan dalam ucapan dan kemudian menjelma dalam tindakan (laku perbuatan). Jadi dengan kata lain ruang-lingkup pengertian “iman” menurut Hadits tersebut meliputi isi hati, ucapan, dan perbuatan (meliputi seluruh aspek hidup seseorang).

Apa yang ada dalam hati seseorang bila diungkapkan atau dinyatakan dengan lisan biasanya disebut sebagai pendapat atau pandangan orang tersebut. Sedangkan suatu tindakan atau perbuatan yang didahului oleh pandangan tertentu biasanya disebut dengan sikap. Hal ini untuk menegaskan perbedaan antara sebuah sikap dengan yang sekedar gerak refleks yaitu gerak tak sadar/spontan. Sehingga secara lebih komprehensif keimanan seseorang berarti merepresentasikan pandangan dan sikap hidup orang tersebut.

Kemudian, apa yang menjadi isi hati yang menjadi ikatan hidup seseorang? Di dalam al-Qur’an, antara lain dijelaskan, “yukminuuna bimaa unzila ilaika wa maa unzila min qablika” (Q.S. al-Baqarah: 4). Beriman dengan apa yang diturunkan kepada Anda dan dengan apa yang diturunkan sebelum Anda. Apa yang diturunkan kepada kita adalah al-Qur’an, dan yang diturunkan kepada umat sebelum kita adalah Taurat, Zabur, Injil dll. Namun dalam ayat yang lain (Q.S. al-‘Ankabut: 52) disebutkan bahwa alternatif iman tidak hanya dengan ajaran yang diturunkan oleh Tuhan saja, tetapi bisa dengan selain ajaran Tuhan yang disebut dengan ajaran bathil. Bahkan dalam surah an-Nisa’: 51 dinyatakan bahwa ada manusia yang menanggung derita sosial akibat beriman dengan ajaran jibti (wishful thinking spiritualism) dan ajaran thaghut (overdose materialism).

Jadi, “iman” secara umum adalah pandangan dan sikap hidup berdasarkan ajaran yang diturunkan dari Tuhan dan atau dengan ajaran-ajaran selainnya. Sedang secara khusus dapat disebut bahwa mereka yang beriman dengan ajaran Allah (al-Qur’an) sebagaimana diujudkan dan dibuktikan dalam kehidupan para Rasul-Nya adalah Mukmin haq (Q.S.al-Baqarah: 119,213; al-Imran:2, 86) atau biasa cukup disebut dengan Mukmin saja. Sedang mereka yang tidak beriman dengan al-Qur’an sebagaimana Sunnah para Rasul, disebut Mukmin bahtil (Q.S. Maryam: 84; al-Baqarah:168, 208; al-An’am:142) atau yang biasa disebut dengan istilah Kafir.

Lalu kalau kita benar-benar telah menyatakan diri sebagai Mukmin sejati, apakah layak melakukan tindakan bermusuhan (apalagi berperang dengan sesama orang yang menyatakan diri beriman), menodai keadilan, mengabaikan musyawarah, merusak lingkungan (sosial dan alam), korupsi, dan lain-lain, dimana hal itu semua bertentangan dengan perintah di dalam al-Qur’an? Bahkan bertentangan dengan seluruh Kitab Suci yang kita imani, yang kita percayai dengan sepenuh-penuhnya, yang menjadi pandangan dan sikap hidup para Mukmin sejati.[] (Untuk kajian selanjutnya dapat diikuti dalam edisi berikutnya)

Kepustakaan:
1. Al-Qur’an dan Hadits
2. Kitab Perjanjian Baru, Lembaga Al-Kitab Indonesia, Jakarta.
3. Kamus Bahasa Arab-Indonesia Al-Munawwir,
4. Kamus Bahasa Arab, al-Munjid
3. Adinegoro, Ensiklopedi Indonesia, Jakarta 1954.
4. DR. Hamka, Pelajaran Agama Islam, Jakarta 1960.
5. M. Hasby ash-Shiddieqy, Al-Islam, Jakarta, 1956.
6. Muhammad Abduh, Risalah Tauhid, terj. Indonesia H. Firdaus A.N. Jakarta, 1965.