
Seusai Perang Badar (perang melawan kaum musyrik Quraisy di Mekkah) Nabi Muhammad SAW mengatakan kepada para sahabatnya,“Kita akan menghadapi perang yang lebih besar lagi.
”Para sahabat bertanya kepada Nabi,“Perang apa itu ya Rasulullah?” Nabi menjawab, ”Perang melawan nafsu!”Ini sebagai peringatan Nabi bahwa nafsu dalam diri manusia itu merupakan musuh terbesar. Nafsu merupakan musuh yang tak terlihat,musuh dalam selimut, dan selalu siap menerkam manusia yang lalai dalam hidupnya. Ini sangat berbeda dengan musuh di medan perang yang secara fisik bisa dideteksi dan dilawan dengan menggunakan senjata.
Dalam Alquran, Allah menegaskan ”Innannafsa laammaratun bissui illa ma rahima rabbi,” .Artinya, sesungguhnya nafsu itu selalu me-nyuruh kepada kejahatan kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku (QS Yusuf: 53).Berikut ini digambarkan tentang nafsu berkuasa, nafsu serakah,dan nafsu bersenang-senang. Nafsu berkuasa yang tanpa batas telah membuat seseorang menjadi diktator dan tiran.Takhta kekuasaan ini biasanya dikelilingi wanitawanita yang dia kawini atau dia pelihara sebagai pemuas nafsu seksnya.
Fir’aun (Pharaoh), raja Mesir kuno itu, adalah contoh konkret dari seorang raja zalim yang mabuk kekuasaan. Dia memegang kekuasaan tanpa batas, membunuh siapa saja yang menentangnya, bertindak Machiavellistis,dan dengan arogan mengklaim sebagai tuhan. Banyak lagi para penguasa otoriter, diktator dan tiran dalam sejarah yang mirip Fir’aun dan bermental Fir’aunisme.
Selanjutnya, nafsu serakah juga dapat membuat manusia menjadi rakus, tamak, dan selalu haus akan harta benda.Dia tidak pernah puas dan selalu ingin memperbanyak harta benda sesuai dengan nafsu serakah yang menguasai dirinya. Dalam memperoleh harta itu, dia tak segan-segan menempuh prinsip “tujuanmenghalalkancara.” Baginya, uang dan harta menjadi tujuan hidup dan harta kekayaan itu menjadi ukuran segala-galanya.
Dia sangat mengesampingkan atau bahkan meninggalkan nilainilai spiritual dan rohaniah dalam hidupnya. Nafsu bersenang-senang pada manusia dapat membuat dirinya menjadi manusia hedonis-permisif. Gebyar kesenangan duniawi menjadi orientasi dan tujuan utama hidupnya. Manusia hedonis-permisif selalu ingin melampiaskan dorongan hawa nafsunya pada pemuasan seks di luar nikah dan nafsu-nafsu rendah lain.
Manusia hedonis-permisif tidak mengenal batas haram-halal, karena yang penting adalah kesenangan duniawi yang didorong oleh gejolak pemuasan nafsunya. Dalam Alquran Surat Yusuf ayat 53 yang dikutip di atas dijelaskan bahwa tidak semua nafsu itu jelek (mendorong manusia berbuat jahat dan maksiat).Tapi ada pula nafsu yang baik, yaitu nafsu “yang dirahmati Tuhan”,yang mendorong manusia berbuat kebajikan.
Nafsu yang baik dan dirahmati Tuhan inilah yang harus selalu unggul dan menang atas nafsunafsu rendah dalam diri manusia. Allah mengajarkan metode untuk memenangkan nafsu yang baik atas nafsu yang rendah itu dengan cara melaksanakan ibadah puasa Ramadan.
Trilogi Kejujuran Manusia yang sukses mengalahkan nafsu jelek dan memenangkan nafsu yang baik akan terbentuk, secara umum, tiga macam kejujuran dalam dirinya: kejujuran kepada Allah,kejujuran kepada orang lain, dan kejujuran kepada diri sendiri.Trilogi kejujuran ini, dalam pandangan Islam, sangat erat berkaitan.
Ketiganya terintegrasi dalam jalinan dan rajutan yang sangat kuat, utuh dan padu dalam totalitas sistem ajaran Islam.Tak mungkin kejujuran kepada Allah tidak mempunyai efek terhadap kejujuran kepada orang lain dan kejujuran kepada diri sendiri. Kejujuran kepada Allah,misalnya, tercermin pada tabiat, perangai, dan perilaku seorang muslim yang secara konsisten tetap menjauhi larangan Allah, walaupun dia–seandainya mau berbuat–tidak melihat Allah ketika akan, sedang, dan sesudah melakukan perbuatan yang terlarang itu.
Dia tidak melihat Allah, tetapi dia merasa dirinya selalu diperhatikan terus-menerus dan diawasi secara langsung oleh Allah. Karena itu dia, misalnya, tidak mau melakukan kolusi, korupsi,dan nepotisme (KKN) karena sifat-sifat kejujurannya kepada Allah sudah merasuk ke dalam tulang sumsum dan urat nadinya. Kejujuran kepada orang lain tecermin, misalnya, pada perilaku seseorang yang tidak mau mengambil atau tidak mengurangi hak-hak orang lain.
Dia secara sadar tidak melakukan perbuatanperbuatan tercela seperti itu karena dia tidak ingin merugikan orang lain. Dia tidak ingin mengambil atau mencuri hak-hak orang lain karena sadar bahwa perbuatan demikian adalah amoral dan batil. Sebenarnya, kalau mau, dia bisa saja melakukannya; tapi dia tidak melakukannya karena jujur kepada orang lain. Kejujuran kepada diri sendiri tecermin pada perilaku seseorang yang sangat konsisten dengan nilainilai moral pribadinya yang kuat, baik dan benar.
Di bulan Ramadan contohnya, dia bisa saja tidak berpuasa karena para tetangga dan orang lain di sekitarnya tidak tahu atau tidak melihatnya.Tetapi dia tidak melakukannya karena dia jujur kepada dirinya dan jujur kepada Allah. Dia sebenarnya punya peluang untuk melakukan KKN, tapi tidak melakukannya karena jujur kepada dirinya sendiri.Karena kejujuran itu harus juga berlaku bagi dirinya.
Dari sudut pandang agama,kejujuran kepada Allah sangat mempunyai korelasi positif dengan kejujuran kepada orang lain dan kejujuran kepada diri sendiri. Kalau kejujuran kepada Allah tidak mempunyai korelasi dan efek positif dan signifikan terhadap kejujuran kepada orang lain dan kejujuran kepada diri sendiri,itu berarti ada sesuatu yang salah dalam diri seseorang dalam melakukan kejujuran kepada Allah.
Akan tetapi, kalau kejujuran kepada Allah itu dilakukan dengan baik dan benar oleh seseorang, sudah pasti hal itu akan mempunyai korelasi dan dampak positif dan signifikan pada diri orang itu dalam melaksanakan kejujuran kepada orang lain dan kejujuran kepada diri sendiri.
Berpuasa di Luar Ramadan Nilai-nilai ajaran puasa Ramadan sebagaimana dilukiskan di atas hendaknya dapat kita laksanakan di luar bulan Ramadan. Dengan kata lain, kita hendaknya “berpuasa” di luar bulan Ramadan dalam arti kita mampu mencegah diri dan menahan diri untuk tidak mengumbar nafsu berkuasa yang tanpa batas (absolut, sewenang-wenang, menyimpang dari aturan main, dan bermental Fir’aunisme); menahan diri dan mencegah diri untuk tidak mengumbar nafsu serakah, rakus, dan tamak; dan menahan diri dan mencegah diri untuk tidak mengumbar nafsu bersenangsenang (hedonis-permisif).
Kita berpuasa di luar bulan Ramadan dalam arti menahan diri dan mencegah diri untuk tidak melakukan kebohongan kepada Allah, kebohongan kepada orang lain (publik), dan kebohongan kepada diri sendiri. Dengan kata lain, di luar bulan Ramadan pun kita harus tetap jujur kepada Allah,jujur kepada orang lain, dan jujur kepada diri sendiri.
Jika kita mampu berpuasa di bulan Ramadan dan mampu pula “berpuasa” di luar bulan Ramadan, itu berarti kita berhasil melaksanakan puasa dengan nilai baik. Kita yakin ajaran dan nilai-nilai puasa di bulan Ramadan sangat berkorelasi secara positif dan signifikan dengan “puasa” di luar bulan Ramadan. Jika tidak, ada sesuatu yang salah dengan puasa Ramadan kita. Kita harus introspeksi diri dan sekaligus memperbaiki diri sebelum terlambat! (*)
SINDO, Wednesday, 01 September 2010
Prof Dr Faisal Ismail MA Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta