Penulis cenderung mengartikan nuzulul-qur’an, secara harafiah, sebagai proses penurunan Qur’an. Dengan pengertian ini kita dapat membagi nuzulul-qur’an menjadi dua babak, yaitu babak historis dan babak rekonstruksi.
Babak histories [sejarah] dihitung mulai dari turunnya wahyu pertama sampai wahyu terakhir, yang makan waktu sekitar 23 tahun. Kronologis, babak ini pun terbagi menjadi dua periode, sesuai dengan waktu dan tempat penurunan Qur’an, yaitu 13 tahun di Makkah dan 10 tahun di Madinah. Filosofis, pembagian menjadi periode Makkah dan Madinah ini bukanlah tanpa arti. Nurcholis Madjid, misalnya, menggambaarkan demikian:
Di Makkah Nabi mengajarkan tentang cita-cita keadilan sosial yang antara lain mendasari konsep-konsep tentang harta yang halal dan yang haram [semua harta yang diperoleh melalui penindasan adalah haram], keharusan menghormati hak milik sah orang lain, kewajiban mengurus harta anak yatim secara benar, perlindungan terhadap kaum wanita dan janda, dst. Itu semua tidak akan tidak melahirkan system hukum, sekalipun keadaan di Makkah belum mengijinkan bagi nabi untuk melaksanakannya. Maka tindakan Nabi dan kebijaksanaaannya di Madinah adalah kelanjutan yang sangat wajar dari apa yang telah dirintis pada periode Makkah itu.
Dalam istilah yang lebih tajam, Periode Makkah adalah periode perombakan kesadaran. Seorang narasumber yang tidak perlu disebutkan namanya, menyebut Periode Makiah sebagai tahap revolusi ilmu, dan ini dikatakannya sebagai tahap yang paling berat dan proses penegakan risalah. Dalam periode inilah dilakukan penguasaan ilmu secara prinsip dalam arti pure scientific [murni teoritis]. Bila kita gunakan sudut pandang hadits, pada periode ini ayat-ayat yang turun baru berupa mufashshil [penjelasan rinci] tentang sorga [haq] dan neraka [bathil]. Sedangkan pada periode Madinah, ilmu yang teoritis itu sudah dijelmakan menjadi sistem hukum yang dilaksanakan. Dengan kata lain, umat yang berhijrah dari Makkah ke Madinah itu hijrah dengan membawa teori yang siap dilahirkan menjadi pedoman kerja praktis, sehingga mereka dapat mewujudkan pengetahuan yang telah dikuasai menjadi kenyataan obyektif.
Umat Islam pada umumnya tidak menyadari kenyataan sejarah ini, sehingga otomatis tidak bisa menjadikannya sebagai cermin. Alhasil, mereka pun menjadi tidak mampu melakukan rekonstruksi sejarah tersebut. Tegasnya, mereka menjadi tidak mampu mengulang sejarah.
Bila diingat bahwa data sejarah tersebut tersimpan dalam al-Qur’an dan Hadits, kebutaan umat Islam akan sejarah tersebut merupakan tanda bahwa mereka kurang [atau tidak?] mempelajari kedua sumber data itu secara serius. Padahal, bila mereka ingin mengulang sejarah, Qur’an dan Hadits harus dipelajari dengan cermat. Hasrat menegakkan ajaran Islam tanpa menengok persyaratan ini artinya sama dengan menegakkan benang basah atau menggantang angin. Hanya buang enerji. Atau seperti kata penyair Khairil Anwar, hidup ini Cuma berarti menunda-nunda kekalahan, karena sudah memilih jalan kalah. Dengan kata lain, pengakuan bahwa konsep Islam itu unggul tiada tanding [Al-Islamu ya’lu wa la yu’la ‘alaih], adalah pengakuan kosong belaka. Mereka tetap hidup dengan konsep yang lain, yang nota bene tidak seunggul konsep Islam.
Jadi, sekali lagi, bila kita hendak menjadikan Qur’an sebagai pedoman hidup, jelas sekali bahwa kita harus mempelajari Qur’an berikut prosedur dan proses penurunannya, yang kini mungkin lebih dikenal sebagai sejarah nabi Muhammad. Dengan kata lain pengkajian Qur’an itu harus dilakukan dalam kerangka kesadaran sejarah, atau dengan memahami filsafat sejarah.
Secara ringkas yang penulis maksud sebagai kesadaran sejarah adalah suatu bentuk kesadaran [jalan pikiran] yang menyadari bahwa setiap manusia, setiap bangsa, pada dasarnya menjalani suatu bentuk kehidupan yang merupakan perulangan dari bentuk kehidupan yang relative sama di masa lalu. Hal itu terjadi karena mereka menerapkan konsep yang relative sama. Dengan kata lain, perulangan itu terjadi bukan tanpa kesengajaan, bahkan boleh jadi merupakan suatu hasil rekonstruksi yang dilakukan dengan penuh kesadaran [kesengajaan]. Kesadaran seperti inilah yang harus dikembangkan ketika kita mengkaji Qur’an dan/atau sejarah Nabi Muhammad.
Bicara tentang sejarah Nabi Muhammad, umumnya orang berasosiasi pada buku-buku sejarah yang beredar di took-toko buku. Mereka lalu berlomba-lomba membeli buku-buku sejarah yang jumlahnya dan versinya banyak itu. Hasilnya, mereka menjadi ragu memastikan mana yang benar di antara banyak data yang disebut, yang sering bertentangan satu sama lain. Ada yang bingung karena penyebutan tahun yang berbeda, atau karena ucapan tokoh anu yang di satu buku disebutkan demikian tapi di buku yang lain dikatakan lain lagi, atau karena menurut penulis A tokoh Fulan benar-benar ada tapi kata penulis B itu hanya tokoh fiktif belaka, atau menurut satu mazhab si Anu itu berhak menjadi khalifat tapi menurut mazhab lain ia adalah perampas hak orang lain.
Data obyektif dari sejarah Nabi Muhammad adalah Qur’an. Karena itu, menomorsekiankan Qur’an demi mengejar sumber-sumber yang lain [termasuk hadits] adalah kesalahan besar, karena semua sumber selain Qur’an hanya bisa dijadikan tambahan [complement]. Qur’an mengajarkan kepada kita bahwa yang harus dipetik dari sejarah adalah prinsipnya, bukan data tentang tahun-tahun kejadian suatu peristiwa atau biografi rinci tokoh-tokoh sejarah.
Orang bilang sejarah berulang; dan perlu ditegaskan sekali lagi di sini bahwa perulangan sejarah itu tidak terjadi secara otomatis, tapi disengaja oleh manusia, karena manusia mengikuti sunnatullah yang beruba kecenderungan meneladani. Dengan kata lain, meneladani artinya mengulang sejarah. Meneladani Nabi berarti mengulangi sejarah Nabi! Lalu, bagaimana bisa mengulang bila tidak mempelajari?
Keharusan mempelajari Al-Qur’an dan meneladani akhlak Nabi Muhammad memang sudah lama dipromosikan orang. Namun di sinipun ada kekeliruan terminologis [istilahi], yang tentu saja berpengaruh pada pemahaman. Mempelajari al-Qur’an dan akhlak Nabi Muhammad adalah bukanlah dua pekerjaan yang terpisah. Bukankah akhlak Nabi Muhammad adalah al-Qur’an? Dengan kata lain, al-Qur’an adalah data akhlak Nabi. Maka mempelajari al-Qur’an berarti mempelajari akhlak Nabi. Mempraktikan al-Qur’an berarti meneladani akhlak Nabi.
Lalu bagaimana peran Hadits? Di sinilah kita memerlukan kejernihan berpikir dalam memaham akhlak Nabi. Pembicaraan tentang ini biasa kita mulai dari jawaban Aisyah ketika ditanya tentang akhlak Nabi. Aisyah mengatakan bahwa akhlak Nabi adalah al-Qur’an. Cara berpikir yang lugu akan menarik kesimpulan bahwa data akurat tentang akhlak Nabi hanya ada di dalam al-qur’an, tidak dalam sumber-sumber yang lain, termasuk hadits. Cara berpikir seperti inilah yang telah melahirkan aliran inkar sunnah. Sunnah [maksudnya hadits] menurut mereka adalah hasil karya manusia, sehingga akurasinya tidak bisa dijamin. Cara berpikir seperti ini jelas naïf. Hadits umumnya berisi sabda Nabi, yang sampai dari satu ke lain orang melalui pemberitaan dari mulut ke mulut, dan sebagian dilengkapi dengan data tulisan. Baru belakangan sebagian besar Hadits dibukukan. Bila proses pembukuan hadits ini dianggap tidak akurat, maka otomatis pembukuan al-Qur’an pun bisa dianggap tidak akurat, karena dilakukan dengan proses yang relative sama. Bedanya, pembukuan al-Qur’an dilakukan pada saat para sahabat yang dekat dengan nabi masih hidup, dan dengan cara mengumpulkan data tulisan di berbagai sarana [kulit, tulang, pelepah kurma, dan lain-lain], sedangkan pembukuan hadits baru dilakukan lama setelah mereka tiada. Perbedaan masa pembukuan itulah yang akhirnya melahirkan ilmu kritik hadits, dan lain-lain, yang tujuannya adalah memilah antara hadits yang akurat [shahih] dan tidak.
Memahami pernyataan Aisyah bahwa akhlak Nabi adalah al-Qur’an harus dihubungkan dengan pernyataan-pernyataan al-Qur’an sendiri. Al-Qur’an, misalnya, menegaskan bahwa Rasulullah [termasuk Muhammad] adalah uswatun hasanah atau tauladan sempurna [al-Ahzab:21]. Karena itu, mentaati Rasulullah berarti mentaati Allah [An-Nisa’:80]. Rasulullah adalah pola keimanan [al-Baqarah:137]. Dengan penegasan ayat-ayat tersebut, dan banyak lagi ayat-ayat lain yang bisa diajukan, jelaslah bagi kita bahwa Rasulullah adalah wakil [representatitive] dari ruh [spirit real meaning] al-Qur’an. Qua data, gambaran yang lengkap tentang keadaan rasulullah sebagai wakil al-Qur’an itu tidak hanya terdapat dalam al-Qur’an, tapi juga dalam hadits-hadits shahih, serta buku-buku sejarah [yang tidak penuh bias/penyimpangan]. Karena itu, menolak hadis dan buku-buku sejarah juga bisa dikatakan menolak hadirnya gambaran utuh pribadi Nabi Muhammad.
Tampilnya Nabi Muhammad sebagai wakil [penjelmaan] al-Qur’an bukan terjadi dengan sendirinya, tetapi melalui proses ta’dib [pendidikan] yang berjalin berkelindan dengan proses penurunan al-Qur’an alias nuzulul-Qur’an. Inilah yang diungkapkan Nabi dengan kata-kata: Addabani rabbi fa-ashana ta’dibi. Tentu saja ini bukan semata-mata sebuah pesan wanti-wanti, minta perhatian sungguh-sungguh, bahwa proses pendidikan yang pernah ditempuhnya itu harus diulang, direkonstruksi oleh siapapun yang ingin meneladaninya.
Itu bukan berarti bahwa kita harus mengulang sejarahnya masuk Goa Hira untuk menyepi di sana. Wahyu pertama memang diterima Nabi di sana. Tapi selanjutnya tidak ada lagi cerita bahwa Nabi menerima wahyu di Goa Hira. Ini membuktikan bahwa bersunyi-sunyi di Goa bukanlah bagian dari keteladanan Nabi, karena ia sendiri dulu hanya mengikuti kebiasaan sebagian masyarakatnya.
Yang harus direkontruksi [dibangun ulang] adalah prosedur dan proses penerimaan [studi] dan penyebaran [tabligh] wahyu yang dilakukan secara bertahap, taktis, dan dengan pencapaian target yang jelas, yaitu terbentuknya kesadaran al-Qur’an.
Kesadaran Qur’ani terbentuk karena merasuknya spirit [real meaning, makna hakiki] al-Qur’an ke dalam diri seseorang. Kesadaran al-Qur’an ini tidak akan terbentuk sempurna dengan hanya mengambil spirit al-Qur’an melalui pihak ke dua, misalnya melalui tafsir berbagai bahasa, atau melalui para guru agama. Kesadaran al-qur’an hanya akan terbentuk sempurna bila orang yang bersangkutan bergaul secara langsung dengan al-Qur’an, dan terus menerus bergaul dengan al-Qur’an, terus menerus melakukan kegiatan belajar mengajar al-Qur’an. Karena itulah Nabi menegaskan : Khairukum man ta’alamal-qur’an wa ‘allamahu [yang terbaik di antara kalian adalah yang mempelajari al-Qur’an dan mengajarkannya]. Pada tahap awal, seperti sudah disinggung di depan, yang menempati posisi demikian itu adalah Nabi sendiri. Selanjutnya diikuti oleh para sahabatnya, yang mengikuti segala ajaran Nabi dengan penuh semangat dan disiplin.
Pergaulan dengan al-qur’an tidak akan berlangsung baik bila kita tidak memahami bahasanya. Proses belajar-mengajar al-Qur’an akan timpang tanpa yang bersangkutan memahami bahasanya. Karena itu mempelajari bahasa al-Qur’an adalah tuntutan logis bagi siapapun yang ingin menjalin pergaulan akrab dengan al-Qur’an, demi membentuk kesadaran Qur’ani. Mengabaikan bahasa al-Qur’an adalah suatu kesalahan fatal. Suatu sikap yang tidak logis.
Hal pokok yang harus diperhatikan oleh para da’i dari dakwah Nabi adalah berlakunya transfer wahyu. Setiap ayat yang diterima Nabi langsung disampaikan kepada para pengikutnya. Mereka diharuskan menghafal ayat demi ayat serta memahami maknanya. Gairah yang besar membuat mereka melakukan kewajiban ini secara berlomba-lomba. Ini sangat bertolak belakang dengan cara dakwah para da’I periode berikutnya, terutama setelah umat islam melakukan ekspansi besar-besaran, yang lebih mengutamakan promosi inti ajaran Isalam. Promosi itu sering kali, sesuai tuntutan kebutuhan pragmatis, dilakukan dengan menggunakan bahaa non-Arab. Sepintas kilas, cara ini memang nampak efektif. Terutama karena pada kenyataanya bangsa-bangsa non-Arab tentu lebih bisa memahami keterangan-keterangan yang mereka terima melalui bahasa ibu mereka sendiri. Memperkenal Islam dengan berbagai bahasa memang tidak bisa dihindarkan. Namun harus disadari bahwa kedudukan bahasa Qur’an dalam [dakwah] Islam adalah strategis dan procedural. Di satu sisi, bahasa al-Qur’an sangat menentukan dalam kaitan dengan pelestarian teks al-Qur’an itu sendiri. Di sisi lain, hanya dengan memahami bahsa aslinya orang dapat meresapkan nilai-nilai sebenarnya dari wahyu Allah itu, dalam aarti dapat dapat membuat segala potensi emosi dan rasionya terlibat secara langsung. Ini amat menentukan dalam pembentukan kepribadian Qur’ani. Dengan demikian, promosi nilai-nilai Islam melalui bahasa lain hanya bersifat taktis dan sementara, yang di dalamnya harus terkandung rangsangan dan dorongan yang akhirnya membuat orang sadar bahwa mereka membutuhkan bahasa aslinya, bila mereka ingin menjadi mukmin yang tangguh.
Jadi, tahap awal, yang procedural, dari usaha rekonstruksi sejarah Nabi, demi meneladani akhlaknya, adalah mempelajari bahasa Qur’an. Bila hal ini disadari oleh umat Islam, dampaknya akan sangat luar biasa. Satu segi, pengaruh bahasa Qur’an dalam masyarakat akan meluas. Dengan demikian gengsinyapun akan meningkat sehingga mendapai kedudukan terhormat di dunia. Bila bahasanya sudah dihormati orang, maka akan otomatis kandungan budayanya [spiritnya] juga akan dihormati. Apalagi bila spirit al-Qur’an sudah menjelma dalam wujud pribadi-pribadi muslim yang secara ilmu dan akhlak memang terpuji.
Tentang disiplin studi al-Qur’an kita dapati gambarannya antara lain dalam surat al-Muzzammil. Sedangkan disiplin dan problematika dakwah, bisa kita kaji dalam banyak surat yang memuat sejarah para rasul. Melalui sejarah para rasul ini juga kita dapati kenyataan bahwa dakwah para rasul mulai dari Adam sampai Muhammad adalah jalinan mata rantai yang tidak boleh diputuskan. Jelasnya, penguraian sejarah para rasul terdahulu tentu mengandung maksud agar Nabi Muhammad dapat mengetahui problematika dakwah, sekaligus meneladani sikap-sikap positif mereka. Selanjutnya, bagi kita sekarang, gambarannya menjadi semakin lengkap karena ditambah dengan sejarah Nabi Muhammad sendiri. Tapi apalah arti kelengkapan informasi bila kita tak bisa mengambil intinya? Justru karena itulah, karena pentingnya mengambil inti inti informasi, setiap pengungkapan sejarah Nabi terdahulu dalam al-Qur’an, Allah selalu mengarahkan pengambilan kesimpulannya.
Jadi, rekonstruksi akhlak Nabi itu harus dimulai dari cara studi dan dakwah yang benar, berpola pada proses nuzulul-qur’an, yang berjalin berkelindan dengan sejarah Nabi Muhammad. Inilah metode pendidikan Allah untuk melahirkan khairu ummah [umat terbaik]. Pengabaian atas metode ini hanya akan menimbulkan ketidakmampuan membedakan gambaran akhlak Nabi dalam al-Qur’an dan akhlak Nabi yang kita bayangkan. Bisa jadi kita malah menganggap nyata sesuatu yang sebenarnya hanya khayalan.
Husein Kndm